Senin, 29 Agustus 2016

Allah Kabulkan Doaku; Kembali Ke Mekkah Madinah (1)


Aku, suami dan anakku Palwa

Labaik Allahumma Labaaik, labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka La Syarikalah…. 

Sejak menjalankan ibadah umroh pada tahun 2012, hatiku selalu rindu untuk kembali ke Baitullah. Dan entah mengapa aku yakin akan bisa kembali. Padahal sejak akhir 2012 aku mengundurkan diri dari tempatku bekerja. Artinya aku tak punya pendapatan tetap untuk bisa menabung. Bagaimana mungkin kami bisa kembali ke Tanah Suci?

Tetapi Allah memudahkan jalan bila kita bersungguh-sungguh. Saya mendapat tawaran menjadi kontributor berita di sebuah portal berita. Hasilnya saya tabung. Begitu pula ketika diajak teman untuk menulis buku kisah para aktivis “Angkatan 66”, hasilnya kutabung. Di situ terselip impian dan angan-angan bisa kembali melaksanakan umroh.

Setiap shalat aku selalu berdoa agar dimudahkan kembali ke Tanah Suci. Aku ingin merasakan kembali kebahagiaan beribadah di Masjid Nabawi dan Raudhoh serta Masjidil Haram. Seringkali dalam shalat dan doa, air mataku bercucuran. Betapa rindunya ya Allah….

Suasana Pesawat Ettihad Abu Dhabi-Madinah
Untuk melampiaskan kerinduan, aku memilih pergi ke masjid untuk shalat berjamaah dan duduk di majelis taklim. Masjid membuatku lebih tenang. Di sanalah doa-doa selalu kupanjatkan agar aku dan keluarga bisa kembali ke Tanah Suci.

Awalnya berangan-angan bisa umroh pada 2014, tapi tidak terwujud. Suamiku selalu menghibur,”Nanti in syaa Allah kita bisa kembali. Nanti kalau si kakak (Lorosae, anak sulungku) sudah masuk SMA.”

Waktu terus berjalan. Tahun 2015 tidak juga bisa umroh. Tabungan sudah terkumpul, tapi ada beberapa kebutuhan dana besar. Selain itu kesibukan suamiku tak memungkinkan mengambil cuti kerja. Sebagai perempuan, aku tetap ingin didampingi mahram saat meninggalkan rumah.

Kerinduanku makin tak terbendung. Setiap kali nonton siaran langsung ibadah thawaf dan sai dari Mekkah, air mataku mengambang di pelupuk mata.

Dan baru awal 2016, kami bertekad menunaikan ibadah umroh. Tahun 2016 posisi rupiah atas dolar AS, terpuruk. Alhasil biaya umroh meningkat tajam. Jika pada 2012, kami bisa berangkat dengan biaya sekitar Rp 15, 5 jutaan, kini sekitar Rp 25 juta. Ini juga menjadi salah satu dorongan untuk tidak menunda umroh. Tidak terbayang jika tertunda lagi, takut biayanya makin tinggi dan tak terjangkau.

Ingin rasanya berangkat pada Maret 2016. Tetapi pada bulan-bulan itu, suamiku tidak mungkin ambil cuti kerja. Suamiku usul di akhir tahun saja, dengan pertimbangan cuaca di Arab Saudi lebih sejuk dibanding berangkat pada pertengahan tahun. Setelah berdiskusi, akhirnya kami ambil waktu sekitar bulan Mei. Karena tabungan terbatas dan atas beberapa pertimbangan lain, kami hanya berangkat bertiga. Aku, suami dan si bungsu Muhammad Palwa. Sedangkan si sulung, Lorosae, tidak ikut serta.  

Sejak itu, aku mulai rajin berselancar di internet, mencari informasi pada penyelenggara umroh. Kali ini, perasaan agak was-was karena banyak kasus jemaah umroh gagal berangkat. Ternyata umumnya mereka mendaftar pada biro umrah tak berizin.

Demi rasa aman, aku membuka website Departemen Agama RI untuk mengetahui daftar penyelenggara umroh berizin. Satu per satu penyelenggara umroh resmi ini kupelajari via website. Dan jika sudah ada program umroh yang menarik, aku menelepon untuk meminta penjelasan langsung. Tak terhitung jumlah penyelenggara umroh yang ku pelajari.

Yang pertama kulakukan, pilih travel berizin atau terdaftar di Depag. Kedua, kupilih program yang waktu pemberangkatannya sesuai dengan rencana. Aku memilih tanggal 1 Mei/24 Rajab, karena pada pekan tersebut bertepatan dengan peringatan Isra Miraj. 

Ketiga, memilih travel yang biayanya relatif terjangkau. Keempat, pertimbangkan akomodasi. Terutama jika seperti saya yang membawa anak, akomodasi jarak penginapan ke Masjid Nabawi/Masjidil Haram. Begitu pun jenis pesawat perlu diperhatikan agar anak tidak rewel saat di perjalanan. Kelima, pertimbangkan ada tidaknya muttawif/pembimbing ibadah untuk mempermudah ibadah kita.

Setelah menghubungi sekitar 5 travel, akhirnya kami memilih penyelenggara umroh berizin yang beralamat di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. SubhanAllah begitu membulatkan tekad umroh, posisi mata uang rupiah menguat menjadi Rp 13.180 setelah sebelumnya nyaris mencapai Rp 14.000/dolar AS.

Dengan biaya sekitar Rp 21 juta ditambah perlengkapan Rp 1,5 juta/orang, kami bisa mendapatkan akomodasi menarik. Pesawat menggunakan Etihad transit di Abu Dhabi, dilanjutkan terbang dari Abu Dhabi langsung ke Madinah (tidak lewat Jeddah). Hotel yang kami inapi cukup dekat masjid Nabawi maupun Masjidil Haram, masing-masing di hotel bintang 5 untuk Madinah dan bintang 4 untuk Makkah. SubhanAllah, Allah yang menyediakannya.....


(Bersambung/Marmi Panti Hidayah)


Senin, 02 Maret 2015

Masjid Soko Tunggal Ku ingat Pasti

Soko Tunggal (atas). Halaman depan Masjid Soko Tunggal (bawah).
 (foto: Marmi Panti Hidayah)

Oleh: Marmi Panti Hidayah


Shalat ku ingat pasti. Ketika ku pergi, Masjid selalu pertama yang kucari agar Alloh selalu dekat di hati & tenanglah diri.

Kalimat tersebut tersurat dalam standing banner yang terpasang di depan Masjid Soko Tunggal. Masjid itu terletak di kawasan Taman Sari, Njeron Beteng Kraton Jogjakarta.

Ketika itu, jarum jam di tangan masih menunjukkan pukul delapan pagi. Loket tiket wisata Taman Sari belum buka, tetapi wisatawan lokal maupun mancanegara sudah bergerombol bersiap melancong.

Gerombolan wisatawan tidak terlalu menarik perhatian. Justru kalimat dalam standing banner ini menyentuhku. Jujur, setiap melakukan perjalanan terutama mendekati waktu shalat fardhu maupun sunnah, masjid selalu dicari. Selain untuk beribadah, masjid di masing-masing wilayah umumnya memiliki keunikan dan keindahan tersendiri.

Oleh karena itu, tak kusia-siakan waktu begitu tiba di pintu masuk Masjid Soko Tunggal. Segera kutunaikan shalat Dhuha.

Pintu gerbang Masjid Soko Tunggal,  Jogjakarta.
(foto: Iwang Dwiartha Noegroho)

Suasana masjid sangat tenang. Tempat wudhu pria dan wanita terpisah, masing-masing berada di sayap bangunan sebelah kanan dan kiri. Di dinding dekat tempat wudhu, terdapat tulisan peringatan agar menjaga ketenangan karena ada jamaah yang sedang berzikir.

Setelah menunaikan shalat Dhuha, sambil melipat mukena pandangan mata tertarik pada tiang penyangga utama (Soko Guru) yang terpancang kuat di interior masjid.

Masjid Soko Tunggal ini dibangun dengan arsitektur khas Jawa. Ini tampak dari desain joglo pada atap masjid. Bangunan joglo umumnya ditopang beberapa soko guru. Tetapi di Masjid Soko Tunggal ini menggunakan tiang tunggal yang kokoh, dan ditopang batu penyangga yang disebut Umpak yang  berasal dari pemerintahan Sultan Agung Hanyokro Kusumo dari Kerajaan Islam Mataram.

Warna tiang utama cokelat tua, kokoh, dan berukir. Soko Guru ini ternyata sebuah simbol dari lambang sila pertama Pancasila. Dan lima sila dari lambang negara ini juga diwujudkan dalam bentuk 4 buah Saka Bentung dan 1 buah Soko Guru.

Ukiran dalam Soko Guru juga memiliki perlambang yang mesti dihayati. Dalam blog Masjid Soko Tunggal disebutkan, ukiran-ukiran dalam Soko Guru ini memiliki bermacam makna.

Ukiran Probo berarti bumi, tanah, dan kewibawaan. Ukiran Saton berarti menyendiri, sawiji. Sedangkan Sorot berarti sinar cahaya matahari.
Tlacapan berarti panggah, tabah dan tangguh. Ceplok-ceplok berarti pemberantas angkara murka. Ukiran mirong berarti maejan. Bahwa semuanya kelak pasti dipanggil Allah SWT.

Ukiran tetesan embun diantara daun dan bunga yang terdapat di balok uleng, bermakna, siapa yang salat di masjid ini semoga dapat anugerah Allah SWT.
Siapa perancang masjid penuh filosofi ini? Ternyata adalah seorang arsitek Kraton Jogjakarta, R Ngabehi Mintobudoyo. Sang arsitek sudah tiada, namun konsepnya dalam merancang bangun masjid tetap hidup.

R Ngabehi Mintobudoyo tidak hanya menyisipkan makna pada ukiran, tapi juga pada konstruksi bangunan masjid.
Di salah satu tempat berbentuk bahu dayung merupakan perlambang, orang-orang yang beribadah akan memiliki kekuatan dalam menghadapi gangguan iblis.

Rangka-rangka masjid tak luput dari makna. Lambang tawonan yang terdapat dalam Soko Brunjung mengandung makna upaya mencapai keluhuran wibawa. Lalu ada lambang gonjo pada Dudur, perlambang adanya cita-cita meraih kesempurnaan hidup. Sirah Godo perlambang kesempurnaan senjata yang ampuh baik jasmani maupun rohani. Rangka mustoko memiliki makna keluhuran dan kewibawaan.

Sebagaimana masjid arsitektur jawa lainnya, Masjid Soko Tunggal juga dikelilingi jendela kaca yang lebar sehingga terkesan luas dan nyaman.
Jika diulas lebih dalam, banyak sekali keistimewaan Masjid Soko Tunggal ini. 

Kendatipun berada di komplek beteng kraton, tempat ibadah ini bebas dimasuki rakyat di luar kraton. Bangunannya sederhana, tapi sarat nilai dan menunjukkan betapa indah khasanah budaya Jawa. Tak heran bila pelancong dari negara tetangga juga tertarik datang untuk melihat-lihat masjid ini.

Sebuah prasasti di dinding luar memperlihatkan, masjid ini diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ia adalah salah seorang Sultan yang pernah memimpin Kasultanan Jogjakarta (1940-1988). Sultan Hamengkubuwono IX yang dikenal dekat dengan masyarakat ini juga merupakan pengusul status khusus “istimewa” untuk Jogjakarta.

Prasarti bertuliskan “Diresmikan pada hari Rabu Pon tanggal 28 Pebruari 1973 oleh: Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Selesai di bangun pada hari Jum'at Pon Tgl. 21 Rajab THN. BE sinengkalan "Hanembah Trus Gunaning Janmo" 1392 H atau 1 September sinengkalan "Nayono Resi Anggotro Gusti" 1972 M”.

Masjid Soko Tunggal sarat kesan dan ku ingat pasti. 

Rabu, 28 Januari 2015

Sehari di Tiga Masjid: Kubah Emas, Andalusia, dan Az-Zikra (3-Selesai)



foto: iwang dwiartha noegroho

Oleh: Marmi Panti Hidayah
Begitu selesai menunaikan shalat Ashar dan dzikir petang di Masjid Andalusia, kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Az-Zikra. Masjid ini berada di perumahan Bukit Az-Zikra, Desa Cimpabuan Sentul. Dari arah Masjid Andalusia tinggal balik arah menuju bundaran lalu ke kiri lurus hingga melintasi di bawah jembatan.
Jalan menuju Masjid Az-Zikra agak curam dan sepi, sehingga disarankan lebih berhati-hati ketika mengendarai mobil. Apalagi bagi jamaah yang ke masjid ketika hari masih gelap.
Ketika memasuki halaman Masjid Az-Zikra, ruang parkir masih sepi. Suasananya sangat tenang.
Masjid yang dibangun atas anggaran dari World Islamic Call Society (WICS), sebuah organisasi dakwah Islam dunia ini, terkesan megah. Mengutip web Masjid Az-Zikra, pembangunan tahap pertama masjid ini dilakukan pada Februari 2009. Dan kini tengah mengembangkan pembangunan pesantren.
Masjid dibangun di atas lahan seluas 12.600 meter, terdiri dari bangunan masjid, convention hall, menara setinggi 57 meter, air mancur, dan lift. Masjid ini mampu menampung hingga 22.000 jamaah. Masjid dilengkapi payung-payung mirip payung Masjid Nabawi untuk bernaung para jamaah yang berdzikir dan tidak tertampung di dalam masjid.
Masjid berlantai tiga ini sangat rapi dalam penataan ruang. Jamaah yang baru pertama kali masuk ke Az-Zikra tak perlu bingung jika ingin ke tempat wudhu maupun tempat shalat. Sebab, ada petunjuk di sepanjang lorong gedung.
Toilet dan tempat wudhu terpisah, memberikan kesan ruang bersuci sangat bersih dan nyaman. Tempat wudhu tersedia dua jenis, ada yang bisa dilakukan sambil duduk dan berdiri. Terdapat pula ruang untuk merapikan busana yang dikenakan usai berwudhu.
Untuk shalat, kami harus menaiki anak tangga dan memasuki ruang shalat yang sebagian kecil disekat untuk jamaah perempuan. Bagi orang yang tidak mampu naik tangga karena faktor usia atau keterbatasan fisik, bisa memanfaatkan lift yang tersedia.
Tak berapa lama setelah melakukan shalat Tahiyatul Masjid, adzan maghrib berkumandang. Jamaah mulai berdatangan dan memenuhi ruang shalat.
Usai adzan berkumandang, jamaah melakukan shalat sunnah qobliyah selanjutnya shalat Maghrib berjamaah.
Bacaan shalat dari sang imam yang sangat syahdu terasa menyentuh kalbu. Tak terasa air mata berlinang. Rasanya bahagia sekali bisa mengunjungi Rumah Allah yang agung di kawasan Sentul ini. “Ya Allah, Alhamdulillah kami diberi kesempatan mengunjungi Masjid Az-Zikra ini. Semoga kelak kami bisa kembali lagi berdzikir dengan bimbingan KH Muhammad Arifin Ilham.

Sabtu, 24 Januari 2015

Sehari di Tiga Masjid: Kubah Emas, Andalusia, dan Az-Zikra (2)

foto: iwang dwiartha noegroho

Oleh: Marmi Panti Hidayah

Usai shalat dzuhur, kami meninggalkan Masjid Kubah Emas Dian Al-Mahri untuk selanjutnya menuju Masjid Andalusia di Jl Ir H Juanda, Sentul. Tetapi sempat salah jalan.

Seharusnya dari Masjid Kubah Emas kami kembali ke arah Cinere, Fatmawati, dan langsung masuk tol menuju Sentul. Tetapi karena harus makan siang dulu, kami mengambil jalan arah Kota Depok. Alhasil, kami terjebak kemacetan di beberapa ruas jalan.

Setelah berhasil masuk Tol Jagorawi, kendaraan keluar di Pintu Tol Sentul City dan kemudian mengambil arah kiri Jl MH Thamrin. Begitu ada bundaran, tinggal memutar mengarah pada Jl Juanda.

Kemacetan di jalan membuat jadwal sedikit berantakan. Kami tiba di sana sekitar pukul 16.00, sehingga ketinggalan waktu shalat berjamaah. Tapi, tetap saja kami bersemangat untuk beribadah di sana.

Nama masjid ini unik, mengingatkan pada sebuah daerah Selatan Spanyol, Andalusia, yang dikenal memiliki gedung-gedung cantik yang merupakan perpaduan arsitektur Arab dan Kristen. Orang yang baru pertama kali singgah di sini, mungkin akan terheran-heran pada namanya.

Dalam laman Tazkia.ac.id disebutkan bahwa pembangunan Andalusia Islamic Center memang terinspirasi dari kejayaan peradaan kekhalifahan islam di Andalusia. Pada waktu itu, kehidupan masyarakat sangat makmur dan wilayah itu menghasilkan ilmuwan-ilmuwan muslim dari berbagai bidang.

Oleh karena itu, Andalusia Islamic Center diharapkan menjadi wadah pendidikan dan pencerahan umat islam di Indonesia khususnya Jabodetabek.

Tempat ibadah ini tergolong megah. Memiliki satu kubah besar yang dikelilingi empat menara. Masjid Andalusia berada di kompleks Andalusia Islamic Center. Di kompleks ini terdapat kampus STEI Tazkia, gedung pertemuan Al Hambra, Tazkia Global Islamic School, TK Islam Terpadu, dan Gedung Pemberdayaan Umat.

Ruang parkirnya cukup luas. Sebelum ke ruang shalat, kita bisa mengambil air wudhu di lantai bawah. Ruangan tempat wudhu cukup luas, sehingga nyaman bagi jamaah yang sedang bersuci.

Selanjutnya, jamaah menaiki anak tangga menuju ruang shalat. Bagi jamaah yang sudah lanjut usia atau tengah menderita gangguan fisik, perlu lebih berhati-hati dalam menaiki anak tangga ini.

Tempat shalat di Andalusia cukup nyaman, sehingga kami bisa shalat Ashar dan dzikir petang secara khusyuk. Ruangannya luas dan terang karena bangunannya memiliki banyak jendela terbuka. Jika melongok dari balik jendela, akan terlihat bangunan Tazkia Global Islamic School.

Langit-langit kubahnya yang berhias kaligrafi dengan ornament sangat menarik.

Masjid Andalusia dan kompleks Islamic Center ini terbangun atas gagasan Yayasan Tazkia pimpinan M Syafii Antonio. Ia adalah seorang mu’alaf dan kini menjadi pakar ekonomi syariah.

Syafii Antonio sebelumnya bernama Nio Cwan Chung, seorang WNI keturunan Tionghoa. Dalam web Andalusia disebutkan, sejak kecil Syafii Antonio menganut ajaran Konghucu, karena ayahnya seorang pendeta Konghucu. Meski demikian, Nio kecil sering memperhatikan cara-cara ibadah orang muslim. Lantaran sering memperhatikan, lama-lama ia merasa suka dan diam-diam melakukan shalat meski belum masuk muslim.

Beruntung keluarganya memberikan kebebasan untuk memilih agama. Oleh karena itu, Nio kecil sempat masuk menjadi penganut protestan dan berganti nama Pilot Sagaran Antonio.

Namun, pada usia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA, Antonio memeluk agama islam. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat pada tahun 1984 dengan dibimbing KH Abdullah bin Nuh al-Ghazali. Namanya berubah menjadi Syafii Antonio. 

Kamis, 30 Oktober 2014

Sehari di Tiga Masjid: Kubah Emas, Andalusia, dan Az-Zikra (1)


Penulis (kanan) di halaman samping Masjid Kubah Emas 

Oleh: Marmi Panti Hidayah

Pertengahan Oktober 2014 di hari Sabtu, kami melakukan safar ke tiga masjid ternama di wilayah Depok dan Sentul, Provinsi Jawa Barat. Berangkat dari Bekasi sekitar pukul 07.30, karena target kami adalah bisa melakukan shalat Dhuha di Masjid Kubah Emas Dian Al-Mahri.

Jalur paling mudah dilalui adalah melalui jalan tol lingkar luar. Dari kawasan Taman Galaxy Bekasi Selatan, kendaraan masuk ke Tol Cikunir. Hari masih pagi, sehingga jalan tol relatif lancar. Kendaraan keluar di Pintul Tol Fatmawati dekat RSUD, lalu menyusuri Jl Fatmawati menuju Pondok Labu. Sesampainya di Pasar Pondok Labu mengambil arah ke Mal Cinere, kemudian lurus mengikuti jalan menuju arah Sawangan Depok.

Masjid Kubah Emas berada di Jl Meruyung, Kecamatan Limo, Depok. Untuk bisa ke sana, perlu siasat waktu agar tak terjebak kemacetan. Sebab, jalan raya relatif sempit, tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang melintas.

Sekitar pukul 09.15 sampailah kami di Masjid Kubah Emas. Menjelang pintu gerbang samping, seorang warga menarik tiket masuk untuk kepentingan lingkungan Rp3.000. Setelah itu, kami kembali harus membayar tiket parkir yang kali ini resmi Rp5.000.

Sungguh luas lingkungan masjid ini. Masjid yang dibuka untuk umum sejak 31 Desember 2006 ini berada di lahan seluas 50 hektar. Masjidnya seluas 8.000 meter persegi. Kendaraan tidak boleh sembarang menurunkan atau menaikkan penumpang di areal masjid, tapi harus dilakukan di tempat parkir.

Lokasi parkirnya lumayan jauh dari masjid. Oleh karena itu, bagi jamaah yang sudah sepuh atau tidak mampu berjalan jauh bisa menggunakan kursi roda. Dari lokasi parkir kita harus menyusuri pedestrian jalan yang kanan kirinya berhias aneka tanaman asri. Lalu melintasi bangunan komersial yang menjual busana muslim, alat shalat, aneka makanan dan minuman.

Sesampainya di halaman masjid, pintu masuk jamaah wanita dan pria terpisah. Untuk bisa masuk ke masjid, kita harus menuruni anak tangga untuk menitipkan alas kaki. Lalu kembali menaiki anak tangga menuju masjid.

Bagian luar masjid ini penuh dengan pilar-pilar yang menawan. Dari depan terlihat jelas kubah utama yang terbuat dari emas berkilau diterpa sinar matahari. Lapisan emas pada kubah ini mencapai 2-3 milimeter, selain juga dihiasi mozaik kristal.

Jika melihat bentuk kubahnya, ingatan langsung melayang ke bangunan Taj Mahal di India. Berbagai literatur menyebutkan, kubah utama ini memiliki diameter bawah 16 meter, diameter tengah 20 meter, dan tinggi 25 meter.

Di sekitar kubah utama terdapat empat kubah kecil yang masing-masing memiliki tinggi 8 meter, berdiameter bawah 6 meter dan tengah 7 meter. Berarti ada lima kubah yang mengacu pada Lima Rukun Islam.

Langit-langit Masjid (foto: Marmi Panti Hidayah)
Sebelum menikmati keindahan masjid, kami mengambil wudhu dulu untuk melaksanakan shalat dhuha. Air sejuk yang mengalir deras dari keran benar-benar membuat rasa lelah sepanjang perjalanan menjadi sirna. Lalu, kami melaksanakan shalat sunnah Tahiyatul Masjid dilanjutkan shalah Dhuha.

Ruangan tempat shalat sangat nyaman. Tidak hanya berpendingin udara, ruangannya sangat luas dan berkarpet tebal nan bersih. Di dalamnya terdapat langit-langit kubah berhiaskan lukisan awan berarak di langit biru. 

Kaligrafi terlihat menghiasi interior masjid. Begitu pula ornament-ornament lainnya yang terkesan artistik. Diperindah dengan lampu gantung yang katanya diimpor dari Italia dengan berat sekitar 8 ton. 

Tak kalah menariknya keberadaan pilar-pilar di areal masjid yang berarsitektur Timur Tengah ini. Seluruh pilar masjid yang berjumlah 168 berlapis bahan prado (sisa emas). Masjid ini juga dihiasi pintu masjid dari bahan kayu jati berornamen.

Banyak jamaah dari luar kota memanfaatkan kemegahan masjid sebagai latar belakang foto. Di dalam masjid sendiri ada larangan berfoto-foto karena bisa mengganggu kekhusyukan beribadah. 

Beberapa jamaah lain memilih beribadah di masjid, seperti membaca Al Qur’an dan berdzikir. Di sana memang tersedia sejumlah Al Qur’an yang tersimpan rapi di dipan kayu.

Menariknya, menjelang ba’da Dzuhur ada penceramah yang kali ini membahas tentang Pentingnya Silaturahmi. Jamaah pria maupun jamaah wanita antusias untuk menyimak ceramah tersebut.

Tidak berapa lama setelah ceramah usai, adzan menggema. Seluruh jamaah yang telah bersuci mulai menyusun shaf, melakukan shalat sunnah Qobliyah. Selanjutnya mereka melakukan shalat Dzuhur dengan sangat khusyuk, berdzikir, dan shalat sunnah ba’diyah.


Jamaah di depan Masjid Kubah Emas
Begitu keluar dari masjid, tukang jasa foto sudah menunggu. Mereka menawarkan foto sekali jepret Rp 20.000. Tentu dengan latar belakang masjid yang didirikan Hj Dian Djuriah Maimun Al Rasyid, pengusaha asal Banten. Jika ingin diperbanyak tarifnya sama saja, Rp 20.000 per lembar.

Usai berfoto yang membutuhkan waktu sekitar 20-30 menit, kami pun meninggalkan Masjid Kubah Emas Dian Al Mahri dengan sarat kesan kekaguman. 

Di areal parkir kami membayar uang parkir kepada petugas yang ada di sana. Begitu keluar dari gerbang, masih ada juga warga yang menarik tarif parkir dengan dalih “seikhlasnya”. Jadi, untuk beribadah di Masjid Kubah Emas, ada empat jenis tarif parkir. Siapkan uang kecil lebih jika anak ke sana. 

Senin, 04 Agustus 2014

Menyusuri Eloknya Laut Gunung Kidul (3) "Pantai Sepanjang Yang Eksotis"

Indahnya langit di Pantai Sepanjang (foto:Marmi Panti Hidayah)


Oleh: Marmi Panti Hidayah
Hujan tak menyurutkan niat untuk menikmati keindahan laut berikutnya, Pantai Sepanjang. Orang bilang pantai ini pesaing Pantai Kuta, Bali, karena memiliki pasir putih yang bersih. Oleh karena itu, tak mau menyia-nyiakan waktu, selagi masih di wilayah Gunung Kidul penyusuran laut berlanjut.
Kira-kira sekitar 3 Km dari Pantai Drini, terdapat penunjuk arah menuju Pantai Sepanjang. Laju mobil pun diarahkan sesuai petunjuk. Saat itu hujan mulai reda, bahkan matahari kembali memancarkan sinarnya. Hanya beberapa meter sebelum Pantai Sepanjang, dua warga melambaikan tangan mengisyaratkan agar berhenti. Rupanya, mereka adalah petugas yang menarik biaya parkir.
Areal parkir di sini lumayan luas, terdapat di sekitar rumah makan dan juga kamar mandi sewa untuk bersih-bersih usai bermain pasir maupun berenang.
Wow! Benar kata orang, Pantai Sepanjang sangat cantik. Kalau boleh dibandingkan, Pantai Sepanjang lebih eksotis dibanding Pantai Indrayanti yang lebih dulu popular.  Di sepanjang jalan raya menuju pantai, telah berdiri saung-saung tempat makan dan juga tempat bersantai yang tertata rapi dan indah. Terlihat sekali upaya pemerintah daerah setempat untuk mengembangkan pariwisata Gunung Kidul.
Gaya wisatawan domestik di Pantai Sepanjang  (foto: Marmi Panti Hidayah)
Gaya wisatawan domestik di Pantai Sepanjang (foto: Marmi Panti Hidayah)
Lingkungannya masih relatif bersih dan suasananya tenang, tidak hiruk pikuk sebagaimana Pantai Indrayanti. Garis pantainya sangat panjang dengan hamparan pasir putih yang masih “perawan”. Gulungan ombak putih bersih yang jika diperhatikan dari jauh seperti kumpulan salju di lautan.
Pantai Sepanjang ini segaris dengan Pantai Krakal dan Pantai Kukup. Di sebelah kiri terdapat bukit karang yang hijau karena ditumbuhi pepohonan. Di celah-celah rekahan batu karang terdapat aneka biota laut, seperti rumput laut, kerang, bahkan bulu babi.
Ketika itu, sinar matahari tiba-tiba meredup dan sebagian langit menjadi sedikit gelap, meninggalkan gradasi warna antara putih, biru, dan abu-abu. Indah sekali. Para wisatawan pun berlomba mengabadikan keindahan alam kala itu.
Beberapa anak duduk di pasir putih sembari mengaduk-aduk pasir dan membuat gunungan-gunungan. Wisatawan yang jumlahnya sedikit terlihat sangat menikmati pantai karena ombaknya tidak seganas di Pantai Indrayanti maupun Pantai Drini.
Melihat Pantai Sepanjang, tidak berlebihan bila orang menyebutnya seperti Pantai Kuta. Pantai ini memang masih bersih dan cantik. Tidak ditemukan bule-bule bertelanjang dada, sehingga tepat sebagai wisata keluarga.
Bagi yang ingin menginap tidak perlu khawatir, karena di Pantai Sepanjang, Pantai Drini maupun Pantai Indrayanti berdiri sejumlah penginapan. Tetapi penginapannya masih terbilang sederhana, belum ada hotel berbintang berdiri.
Namun, pantai-pantai di Gunung Kidul ini potensial dikembangkan lagi untuk menarik wisatawan domestik maupun mancanegara. Fasilitas hotel berbintang diperlukan sebagai nilai tambah, karena sebenarnya pembangunan infrastruktur sudah cukup menunjang. Selain itu, pemerintah daerah setempat harus mampu mempertahankan kondisi Pantai Sepanjang yang relatif masih bersih dengan melarang wisatawan membuang sampah sembarang.
Kita bisa belajar dari Pantai Parangtritis, Pantai Baron, dan Pantai Goa Cemara di yang mulai dikotori sampah, sehingga mengurangi eksotisme laut sebagai kekayaan alam Jogja.

Menyusuri Eloknya Laut Gunung Kidul (2) "Drini Kampung Nelayan Yang Sunyi"

Suami dan anak-anakku di Pantai Drini (foto: Marmi Panti Hidayah)


Oleh: Marmi Panti Hidayah
Sekitar 5 kilometer dari Pantai Indrayanti tepatnya di Desa Ngestirejo, Kecamatan Tanjungsari, terdapat Pantai Drini. Jika berangkat dari Pantai Indrayanti, maka kita cukup mengambil arah kanan dan terus mengikuti jalan hingga ada petunjuk arah menuju Pantai Drini.
Di sini Anda tidak dikenakan tarif masuk, hanya membayar biaya parkir saja.
Suasana Pantai Drini terasa lebih sunyi dibanding Pantai Indrayanti, Pantai Baron, maupun Pantai Sepanjang. Hanya terdengar suara ombak bergulung dan memecah di pasir putih. Tidak ada hiruk pikuk wisatawan maupun pedagang asongan.
 (foto: Marmi Panti Hidayah)
Berlabuh di atas hamparan pasir putih Drini (foto: Marmi Panti Hidayah)
Kendati Drini merupakan kampung nelayan, tidak ada aktivitas nelayan yang biasanya sibuk membawa hasil tangkapan di laut.
Sejumlah perahu nelayan justru berlabuh di atas hamparan pasir putih.
Tidak jauh dari tempat bersandarnya perahu nelayan, beberapa wanita menjual camilan khas laut Gunung Kidul yaitu udang dan ikan goreng. Karena tidak banyak wisatawan yang datang, udang goreng itu masih menggunung di atas tampah lebar. Begitu pula ikan pari goreng, tampak masih utuh. Padahal udang goreng itu harganya murah seperempat kilo hanya Rp25.000.
Di seberangnya berdiri sejumlah tempat makan dalam kondisi sama, sepi. Selama menelurusi laut Gunung Kidul, wisatawan terlihat lebih senang menikmati Pantai Indrayanti, Pantai Baron, maupun Pantai Sepanjang. Keberadaan saung-saung di pantai tersebut, mungkin saja membuat wisatawan enggan beranjak. Padahal, Pantai Drini tak kalah elok.
20140627_090012
Udang goreng khas Pantai Drini dan Indrayanti (foto: Marmi Panti Hidayah)
Pantai Drini memiliki pulau karang yang ditumbuhi pohon. Di antara karang-karang laut air bening memperlihatkan rumput laut dan ikan-ikan kecil. Di atas pulau karang yang teduh tersebut juga bisa dipakai untuk  memandang laut dari ketinggian.
Pulau karang tersebut memisahkan Pantai Drini menjadi dua bagian yakni sisi timur dan barat. Di sekitar karang, air cukup tenang sehingga wisatawan bisa berenang di sini.
Wisatawan yang pernah berkunjung ke Pantai Drini menyebut, destinasi wisata ini paling tepat untuk melihat indahnya sunrise. Jika itu menjadi tujuan Anda, sebaiknya bermalam di sana. Ada beberapa penginapan sederhana yang bisa disewa.
Sayangnya, saat menelusuri Pantai Drini, langit tiba-tiba mendung. Tak berapa lama, air hujan tercurah dari langit. Suasana pun makin sunyi dan kami pun harus beranjak pergi.