Senin, 29 Agustus 2016

Allah Kabulkan Doaku; Kembali Ke Mekkah Madinah (1)


Aku, suami dan anakku Palwa

Labaik Allahumma Labaaik, labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka La Syarikalah…. 

Sejak menjalankan ibadah umroh pada tahun 2012, hatiku selalu rindu untuk kembali ke Baitullah. Dan entah mengapa aku yakin akan bisa kembali. Padahal sejak akhir 2012 aku mengundurkan diri dari tempatku bekerja. Artinya aku tak punya pendapatan tetap untuk bisa menabung. Bagaimana mungkin kami bisa kembali ke Tanah Suci?

Tetapi Allah memudahkan jalan bila kita bersungguh-sungguh. Saya mendapat tawaran menjadi kontributor berita di sebuah portal berita. Hasilnya saya tabung. Begitu pula ketika diajak teman untuk menulis buku kisah para aktivis “Angkatan 66”, hasilnya kutabung. Di situ terselip impian dan angan-angan bisa kembali melaksanakan umroh.

Setiap shalat aku selalu berdoa agar dimudahkan kembali ke Tanah Suci. Aku ingin merasakan kembali kebahagiaan beribadah di Masjid Nabawi dan Raudhoh serta Masjidil Haram. Seringkali dalam shalat dan doa, air mataku bercucuran. Betapa rindunya ya Allah….

Suasana Pesawat Ettihad Abu Dhabi-Madinah
Untuk melampiaskan kerinduan, aku memilih pergi ke masjid untuk shalat berjamaah dan duduk di majelis taklim. Masjid membuatku lebih tenang. Di sanalah doa-doa selalu kupanjatkan agar aku dan keluarga bisa kembali ke Tanah Suci.

Awalnya berangan-angan bisa umroh pada 2014, tapi tidak terwujud. Suamiku selalu menghibur,”Nanti in syaa Allah kita bisa kembali. Nanti kalau si kakak (Lorosae, anak sulungku) sudah masuk SMA.”

Waktu terus berjalan. Tahun 2015 tidak juga bisa umroh. Tabungan sudah terkumpul, tapi ada beberapa kebutuhan dana besar. Selain itu kesibukan suamiku tak memungkinkan mengambil cuti kerja. Sebagai perempuan, aku tetap ingin didampingi mahram saat meninggalkan rumah.

Kerinduanku makin tak terbendung. Setiap kali nonton siaran langsung ibadah thawaf dan sai dari Mekkah, air mataku mengambang di pelupuk mata.

Dan baru awal 2016, kami bertekad menunaikan ibadah umroh. Tahun 2016 posisi rupiah atas dolar AS, terpuruk. Alhasil biaya umroh meningkat tajam. Jika pada 2012, kami bisa berangkat dengan biaya sekitar Rp 15, 5 jutaan, kini sekitar Rp 25 juta. Ini juga menjadi salah satu dorongan untuk tidak menunda umroh. Tidak terbayang jika tertunda lagi, takut biayanya makin tinggi dan tak terjangkau.

Ingin rasanya berangkat pada Maret 2016. Tetapi pada bulan-bulan itu, suamiku tidak mungkin ambil cuti kerja. Suamiku usul di akhir tahun saja, dengan pertimbangan cuaca di Arab Saudi lebih sejuk dibanding berangkat pada pertengahan tahun. Setelah berdiskusi, akhirnya kami ambil waktu sekitar bulan Mei. Karena tabungan terbatas dan atas beberapa pertimbangan lain, kami hanya berangkat bertiga. Aku, suami dan si bungsu Muhammad Palwa. Sedangkan si sulung, Lorosae, tidak ikut serta.  

Sejak itu, aku mulai rajin berselancar di internet, mencari informasi pada penyelenggara umroh. Kali ini, perasaan agak was-was karena banyak kasus jemaah umroh gagal berangkat. Ternyata umumnya mereka mendaftar pada biro umrah tak berizin.

Demi rasa aman, aku membuka website Departemen Agama RI untuk mengetahui daftar penyelenggara umroh berizin. Satu per satu penyelenggara umroh resmi ini kupelajari via website. Dan jika sudah ada program umroh yang menarik, aku menelepon untuk meminta penjelasan langsung. Tak terhitung jumlah penyelenggara umroh yang ku pelajari.

Yang pertama kulakukan, pilih travel berizin atau terdaftar di Depag. Kedua, kupilih program yang waktu pemberangkatannya sesuai dengan rencana. Aku memilih tanggal 1 Mei/24 Rajab, karena pada pekan tersebut bertepatan dengan peringatan Isra Miraj. 

Ketiga, memilih travel yang biayanya relatif terjangkau. Keempat, pertimbangkan akomodasi. Terutama jika seperti saya yang membawa anak, akomodasi jarak penginapan ke Masjid Nabawi/Masjidil Haram. Begitu pun jenis pesawat perlu diperhatikan agar anak tidak rewel saat di perjalanan. Kelima, pertimbangkan ada tidaknya muttawif/pembimbing ibadah untuk mempermudah ibadah kita.

Setelah menghubungi sekitar 5 travel, akhirnya kami memilih penyelenggara umroh berizin yang beralamat di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. SubhanAllah begitu membulatkan tekad umroh, posisi mata uang rupiah menguat menjadi Rp 13.180 setelah sebelumnya nyaris mencapai Rp 14.000/dolar AS.

Dengan biaya sekitar Rp 21 juta ditambah perlengkapan Rp 1,5 juta/orang, kami bisa mendapatkan akomodasi menarik. Pesawat menggunakan Etihad transit di Abu Dhabi, dilanjutkan terbang dari Abu Dhabi langsung ke Madinah (tidak lewat Jeddah). Hotel yang kami inapi cukup dekat masjid Nabawi maupun Masjidil Haram, masing-masing di hotel bintang 5 untuk Madinah dan bintang 4 untuk Makkah. SubhanAllah, Allah yang menyediakannya.....


(Bersambung/Marmi Panti Hidayah)