Senin, 02 Maret 2015

Masjid Soko Tunggal Ku ingat Pasti

Soko Tunggal (atas). Halaman depan Masjid Soko Tunggal (bawah).
 (foto: Marmi Panti Hidayah)

Oleh: Marmi Panti Hidayah


Shalat ku ingat pasti. Ketika ku pergi, Masjid selalu pertama yang kucari agar Alloh selalu dekat di hati & tenanglah diri.

Kalimat tersebut tersurat dalam standing banner yang terpasang di depan Masjid Soko Tunggal. Masjid itu terletak di kawasan Taman Sari, Njeron Beteng Kraton Jogjakarta.

Ketika itu, jarum jam di tangan masih menunjukkan pukul delapan pagi. Loket tiket wisata Taman Sari belum buka, tetapi wisatawan lokal maupun mancanegara sudah bergerombol bersiap melancong.

Gerombolan wisatawan tidak terlalu menarik perhatian. Justru kalimat dalam standing banner ini menyentuhku. Jujur, setiap melakukan perjalanan terutama mendekati waktu shalat fardhu maupun sunnah, masjid selalu dicari. Selain untuk beribadah, masjid di masing-masing wilayah umumnya memiliki keunikan dan keindahan tersendiri.

Oleh karena itu, tak kusia-siakan waktu begitu tiba di pintu masuk Masjid Soko Tunggal. Segera kutunaikan shalat Dhuha.

Pintu gerbang Masjid Soko Tunggal,  Jogjakarta.
(foto: Iwang Dwiartha Noegroho)

Suasana masjid sangat tenang. Tempat wudhu pria dan wanita terpisah, masing-masing berada di sayap bangunan sebelah kanan dan kiri. Di dinding dekat tempat wudhu, terdapat tulisan peringatan agar menjaga ketenangan karena ada jamaah yang sedang berzikir.

Setelah menunaikan shalat Dhuha, sambil melipat mukena pandangan mata tertarik pada tiang penyangga utama (Soko Guru) yang terpancang kuat di interior masjid.

Masjid Soko Tunggal ini dibangun dengan arsitektur khas Jawa. Ini tampak dari desain joglo pada atap masjid. Bangunan joglo umumnya ditopang beberapa soko guru. Tetapi di Masjid Soko Tunggal ini menggunakan tiang tunggal yang kokoh, dan ditopang batu penyangga yang disebut Umpak yang  berasal dari pemerintahan Sultan Agung Hanyokro Kusumo dari Kerajaan Islam Mataram.

Warna tiang utama cokelat tua, kokoh, dan berukir. Soko Guru ini ternyata sebuah simbol dari lambang sila pertama Pancasila. Dan lima sila dari lambang negara ini juga diwujudkan dalam bentuk 4 buah Saka Bentung dan 1 buah Soko Guru.

Ukiran dalam Soko Guru juga memiliki perlambang yang mesti dihayati. Dalam blog Masjid Soko Tunggal disebutkan, ukiran-ukiran dalam Soko Guru ini memiliki bermacam makna.

Ukiran Probo berarti bumi, tanah, dan kewibawaan. Ukiran Saton berarti menyendiri, sawiji. Sedangkan Sorot berarti sinar cahaya matahari.
Tlacapan berarti panggah, tabah dan tangguh. Ceplok-ceplok berarti pemberantas angkara murka. Ukiran mirong berarti maejan. Bahwa semuanya kelak pasti dipanggil Allah SWT.

Ukiran tetesan embun diantara daun dan bunga yang terdapat di balok uleng, bermakna, siapa yang salat di masjid ini semoga dapat anugerah Allah SWT.
Siapa perancang masjid penuh filosofi ini? Ternyata adalah seorang arsitek Kraton Jogjakarta, R Ngabehi Mintobudoyo. Sang arsitek sudah tiada, namun konsepnya dalam merancang bangun masjid tetap hidup.

R Ngabehi Mintobudoyo tidak hanya menyisipkan makna pada ukiran, tapi juga pada konstruksi bangunan masjid.
Di salah satu tempat berbentuk bahu dayung merupakan perlambang, orang-orang yang beribadah akan memiliki kekuatan dalam menghadapi gangguan iblis.

Rangka-rangka masjid tak luput dari makna. Lambang tawonan yang terdapat dalam Soko Brunjung mengandung makna upaya mencapai keluhuran wibawa. Lalu ada lambang gonjo pada Dudur, perlambang adanya cita-cita meraih kesempurnaan hidup. Sirah Godo perlambang kesempurnaan senjata yang ampuh baik jasmani maupun rohani. Rangka mustoko memiliki makna keluhuran dan kewibawaan.

Sebagaimana masjid arsitektur jawa lainnya, Masjid Soko Tunggal juga dikelilingi jendela kaca yang lebar sehingga terkesan luas dan nyaman.
Jika diulas lebih dalam, banyak sekali keistimewaan Masjid Soko Tunggal ini. 

Kendatipun berada di komplek beteng kraton, tempat ibadah ini bebas dimasuki rakyat di luar kraton. Bangunannya sederhana, tapi sarat nilai dan menunjukkan betapa indah khasanah budaya Jawa. Tak heran bila pelancong dari negara tetangga juga tertarik datang untuk melihat-lihat masjid ini.

Sebuah prasasti di dinding luar memperlihatkan, masjid ini diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ia adalah salah seorang Sultan yang pernah memimpin Kasultanan Jogjakarta (1940-1988). Sultan Hamengkubuwono IX yang dikenal dekat dengan masyarakat ini juga merupakan pengusul status khusus “istimewa” untuk Jogjakarta.

Prasarti bertuliskan “Diresmikan pada hari Rabu Pon tanggal 28 Pebruari 1973 oleh: Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Selesai di bangun pada hari Jum'at Pon Tgl. 21 Rajab THN. BE sinengkalan "Hanembah Trus Gunaning Janmo" 1392 H atau 1 September sinengkalan "Nayono Resi Anggotro Gusti" 1972 M”.

Masjid Soko Tunggal sarat kesan dan ku ingat pasti. 

Rabu, 28 Januari 2015

Sehari di Tiga Masjid: Kubah Emas, Andalusia, dan Az-Zikra (3-Selesai)



foto: iwang dwiartha noegroho

Oleh: Marmi Panti Hidayah
Begitu selesai menunaikan shalat Ashar dan dzikir petang di Masjid Andalusia, kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Az-Zikra. Masjid ini berada di perumahan Bukit Az-Zikra, Desa Cimpabuan Sentul. Dari arah Masjid Andalusia tinggal balik arah menuju bundaran lalu ke kiri lurus hingga melintasi di bawah jembatan.
Jalan menuju Masjid Az-Zikra agak curam dan sepi, sehingga disarankan lebih berhati-hati ketika mengendarai mobil. Apalagi bagi jamaah yang ke masjid ketika hari masih gelap.
Ketika memasuki halaman Masjid Az-Zikra, ruang parkir masih sepi. Suasananya sangat tenang.
Masjid yang dibangun atas anggaran dari World Islamic Call Society (WICS), sebuah organisasi dakwah Islam dunia ini, terkesan megah. Mengutip web Masjid Az-Zikra, pembangunan tahap pertama masjid ini dilakukan pada Februari 2009. Dan kini tengah mengembangkan pembangunan pesantren.
Masjid dibangun di atas lahan seluas 12.600 meter, terdiri dari bangunan masjid, convention hall, menara setinggi 57 meter, air mancur, dan lift. Masjid ini mampu menampung hingga 22.000 jamaah. Masjid dilengkapi payung-payung mirip payung Masjid Nabawi untuk bernaung para jamaah yang berdzikir dan tidak tertampung di dalam masjid.
Masjid berlantai tiga ini sangat rapi dalam penataan ruang. Jamaah yang baru pertama kali masuk ke Az-Zikra tak perlu bingung jika ingin ke tempat wudhu maupun tempat shalat. Sebab, ada petunjuk di sepanjang lorong gedung.
Toilet dan tempat wudhu terpisah, memberikan kesan ruang bersuci sangat bersih dan nyaman. Tempat wudhu tersedia dua jenis, ada yang bisa dilakukan sambil duduk dan berdiri. Terdapat pula ruang untuk merapikan busana yang dikenakan usai berwudhu.
Untuk shalat, kami harus menaiki anak tangga dan memasuki ruang shalat yang sebagian kecil disekat untuk jamaah perempuan. Bagi orang yang tidak mampu naik tangga karena faktor usia atau keterbatasan fisik, bisa memanfaatkan lift yang tersedia.
Tak berapa lama setelah melakukan shalat Tahiyatul Masjid, adzan maghrib berkumandang. Jamaah mulai berdatangan dan memenuhi ruang shalat.
Usai adzan berkumandang, jamaah melakukan shalat sunnah qobliyah selanjutnya shalat Maghrib berjamaah.
Bacaan shalat dari sang imam yang sangat syahdu terasa menyentuh kalbu. Tak terasa air mata berlinang. Rasanya bahagia sekali bisa mengunjungi Rumah Allah yang agung di kawasan Sentul ini. “Ya Allah, Alhamdulillah kami diberi kesempatan mengunjungi Masjid Az-Zikra ini. Semoga kelak kami bisa kembali lagi berdzikir dengan bimbingan KH Muhammad Arifin Ilham.

Sabtu, 24 Januari 2015

Sehari di Tiga Masjid: Kubah Emas, Andalusia, dan Az-Zikra (2)

foto: iwang dwiartha noegroho

Oleh: Marmi Panti Hidayah

Usai shalat dzuhur, kami meninggalkan Masjid Kubah Emas Dian Al-Mahri untuk selanjutnya menuju Masjid Andalusia di Jl Ir H Juanda, Sentul. Tetapi sempat salah jalan.

Seharusnya dari Masjid Kubah Emas kami kembali ke arah Cinere, Fatmawati, dan langsung masuk tol menuju Sentul. Tetapi karena harus makan siang dulu, kami mengambil jalan arah Kota Depok. Alhasil, kami terjebak kemacetan di beberapa ruas jalan.

Setelah berhasil masuk Tol Jagorawi, kendaraan keluar di Pintu Tol Sentul City dan kemudian mengambil arah kiri Jl MH Thamrin. Begitu ada bundaran, tinggal memutar mengarah pada Jl Juanda.

Kemacetan di jalan membuat jadwal sedikit berantakan. Kami tiba di sana sekitar pukul 16.00, sehingga ketinggalan waktu shalat berjamaah. Tapi, tetap saja kami bersemangat untuk beribadah di sana.

Nama masjid ini unik, mengingatkan pada sebuah daerah Selatan Spanyol, Andalusia, yang dikenal memiliki gedung-gedung cantik yang merupakan perpaduan arsitektur Arab dan Kristen. Orang yang baru pertama kali singgah di sini, mungkin akan terheran-heran pada namanya.

Dalam laman Tazkia.ac.id disebutkan bahwa pembangunan Andalusia Islamic Center memang terinspirasi dari kejayaan peradaan kekhalifahan islam di Andalusia. Pada waktu itu, kehidupan masyarakat sangat makmur dan wilayah itu menghasilkan ilmuwan-ilmuwan muslim dari berbagai bidang.

Oleh karena itu, Andalusia Islamic Center diharapkan menjadi wadah pendidikan dan pencerahan umat islam di Indonesia khususnya Jabodetabek.

Tempat ibadah ini tergolong megah. Memiliki satu kubah besar yang dikelilingi empat menara. Masjid Andalusia berada di kompleks Andalusia Islamic Center. Di kompleks ini terdapat kampus STEI Tazkia, gedung pertemuan Al Hambra, Tazkia Global Islamic School, TK Islam Terpadu, dan Gedung Pemberdayaan Umat.

Ruang parkirnya cukup luas. Sebelum ke ruang shalat, kita bisa mengambil air wudhu di lantai bawah. Ruangan tempat wudhu cukup luas, sehingga nyaman bagi jamaah yang sedang bersuci.

Selanjutnya, jamaah menaiki anak tangga menuju ruang shalat. Bagi jamaah yang sudah lanjut usia atau tengah menderita gangguan fisik, perlu lebih berhati-hati dalam menaiki anak tangga ini.

Tempat shalat di Andalusia cukup nyaman, sehingga kami bisa shalat Ashar dan dzikir petang secara khusyuk. Ruangannya luas dan terang karena bangunannya memiliki banyak jendela terbuka. Jika melongok dari balik jendela, akan terlihat bangunan Tazkia Global Islamic School.

Langit-langit kubahnya yang berhias kaligrafi dengan ornament sangat menarik.

Masjid Andalusia dan kompleks Islamic Center ini terbangun atas gagasan Yayasan Tazkia pimpinan M Syafii Antonio. Ia adalah seorang mu’alaf dan kini menjadi pakar ekonomi syariah.

Syafii Antonio sebelumnya bernama Nio Cwan Chung, seorang WNI keturunan Tionghoa. Dalam web Andalusia disebutkan, sejak kecil Syafii Antonio menganut ajaran Konghucu, karena ayahnya seorang pendeta Konghucu. Meski demikian, Nio kecil sering memperhatikan cara-cara ibadah orang muslim. Lantaran sering memperhatikan, lama-lama ia merasa suka dan diam-diam melakukan shalat meski belum masuk muslim.

Beruntung keluarganya memberikan kebebasan untuk memilih agama. Oleh karena itu, Nio kecil sempat masuk menjadi penganut protestan dan berganti nama Pilot Sagaran Antonio.

Namun, pada usia 17 tahun dan masih duduk di bangku SMA, Antonio memeluk agama islam. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat pada tahun 1984 dengan dibimbing KH Abdullah bin Nuh al-Ghazali. Namanya berubah menjadi Syafii Antonio.