Labaik
Allahumma Labaaik, labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka
Wal Mulka La Syarikalah...
Setibanya
di Masjidil Haram, ibadah umrah dimulai dengan melakukan Thawaf, mengelilingi
Kabah hingga tujuh putaran. Untuk mempermudah menghitung jumlah putaran yang
sudah dilalui, aku mengenakan 7 gelang karet. Setiap memulai putaran maka
gelang karet dipindah dari pergelangan tangan kanan ke tangan kiri.
Ini
hanyalah cara untuk mempermudah. Sebab, jika kita mampu menghapal doa-doa
Thawaf atau membaca buku panduan doa, maka tak perlu menggunakan gelang karet.
Hal itu aku terapkan dalam Thawaf Sunah dan Thawaf Wada.
Banyak
teman menanyakan bagaimana repotnya membawa anak saat melakukan ibadah umrah?
Aku selalu bilang,”Tidak ada kesulitan apapun, semua dipermudah Allah”.
Sebab,
itulah yang kurasakan. Alhamdulillah, anak-anak tidak rewel atau mengeluh,
mereka selalu sehat dan bersemangat. Saat Thawaf, anakku Palwa (4) harus
digendong ayahnya. Berat memang karena bobot tubuhnya mencapai 20 Kg, tapi
semua berjalan lancar. Sementara aku menggandeng erat putriku yang masih duduk
di kelas 6 SD. Kala itu jemaah umrah yang sedang melakukan Thawaf sangat banyak
dan berdesak-desakan. Pembimbing ibadah mampu membuat kami tetap bersama dalam
barisan sambil terus mengucapkan doa.
Awalnya
kami mengikuti doa-doa yang dibacakan pembimbing ibadah. Tapi karena banyaknya
jamaah mengucapkan doa, kadang-kadang panduan doa dari pembimbing kurang
terdengar. Akhirnya justru terbawa ikut doa dari rombongan lain. Maka, lebih
baik menghapalkan doa-doa yang sudah diberikan saat manasik atau membaca buku
kecil panduan umrah. Tidak terlalu repot, asalkan kita melakukannya tanpa
tergesa-gesa, itu saya terapkan saat Thawaf Sunah dan Thawaf Wada.
Pada
putaran pertama, aku melihat betapa banyak orang berusaha mengusap maupun
mencium Hajar Aswad. Penuh sekali, berdesakan. Pada putaran berikutnya,
sebenarnya kami punya kesempatan untuk mendekat ke Hajar Aswad. Saat itu
kerumunan jamaah tersibak sehingga seperti ada jalan masuk ke Hajar Aswad, tapi
tidak berlangsung lama karena penuh kembali. Tak mungkin bagi kami
mendekat karena membawa anak-anak. Tidak bisa dibayangkan bagaimana bila kami
bersikeras mendekat, tentu anak-anak akan terdesak di tengah lautan jamaah.
Maka
kami mengikuti saran pembimbing ibadah saat pra-manasik maupun manasik: Cukup
menghadapkan tubuh kita ke arah Hajar Aswad sambil melambaikan tangan dan
mengucapkan,”Bismillahi Allahu Akbar”. Berbeda ketika kami melakukan
Thawaf Sunah usai shalat Tahajjud, ada satu kesempatan untuk mengusap batu
surga, Hajar Aswad.
Sungguh
tak terlukiskan perasaan hati ini saat memutari Kabah. Antara haru, rasa
syukur, bahagia, dan berharap Allah mengampuni segala dosa selama ini. Rekaman
kehidupan masa lalu terbayang dan membuahkan penyesalan dalam. Maka hanya
lelehan air mata yang mampu menggambarkan perasaan kami, terutama saat
menjalankan shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim dan shalat sunah di Hijir Ismail.
Usai
shalat di Maqam Ibrahim, ibadah dilanjutkan dengan melakukan Sa’i. Suasananya
lebih longgar dibanding saat Thawaf. Bahkan anakku yang masih berusia 4 tahun
minta turun dari gendongan dan berjalan sendiri. Bila diingatkan untuk
berlari-lari kecil, anakku malah langsung berlari kencang. Alhamdulillah
anak-anak semangat melakukan ibadah hingga prosesi tahalul, meski berlangsung
pada dini hari.
Tukang
cukur rambut tersebar di sekitar Masjidil Haram. Suami dan adik iparku langsung
memangkas rambutnya. Sementara anakku, Palwa, menolak rambutnya dipangkas
orang-orang Arab. Maka, aku sendiri yang memangkas rambutnya karena kebetulan
berbekal gunting kecil.
Hari-hari
berikutnya, benar-benar diisi dengan ibadah dan ibadah. Itulah nikmatnya di
Tanah Suci Makkah. Urusan duniawi benar-benar ditinggalkan, dan seluruh energi,
konsentrasi dan perhatian kita hanya untuk ibadah. Baik shalat wajib, shalat
sunah, Thawaf Sunah, berdzikir hingga mengaji.
Masih
teringat bagaimana nikmatnya saat dini hari, kami bersama-sama menuju Masjidil
Haram. Angin lembut mengibas-ibaskan mukena. Sesampainya di Masjidil Haram,
langsung melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid dan shalat sunah lainnya.
Kemudian melakukan Thawaf Sunah, dilanjutkan melaksanakan Shalat Subuh
berjamaah dan dzikir pagi.
Dengan
rutin melakukan Thawaf Sunah, kami merasakan bagaimana wanginya saat menyentuh
Rukun Yamani. Anakku, Lorosae, juga kuajak untuk ikut mencium wanginya selimut
Kabah dan menyaksikan dari dekat Maqam Ibrahim (batu pijakan Nabi Ibrahim AS).
Suatu
ketika dalam Thawaf Sunah, saya menangis saat berhasil memegang pintu Kabah.
Kala itu tak ada yang mampu terucap kecuali minta ampun. Benar-benar tak ada
kalimat lain terucap kecuali bertobat dan mohon hidayah. Barulah ketika shalat
dua rakaat di Maqam Ibrahim, kupanjatkan doa-doa termasuk mendoakan saudara,
teman-teman yang memang minta didoakan.
Suatu
hari tubuh terasa sangat pegal, mungkin karena selalu jalan kaki dalam jarak
cukup jauh bahkan sering sambil menggendong anak. Oleh karena itu, pernah
menjelang shalat malam aku ingin istirahat, tidak melakukan Thawaf Sunah
sebagaimana biasa.
Usai
shalat Tahiyatul Masjid dan shalat sunah, adikku dan kakakku memutuskan untuk
melaksanakan Thawaf. Maka, aku ikut Thawaf. SubhanAllah, begitu memasuki
putaran pertama rasa pegal langsung hilang dan aku bisa melaksanakan Thawaf.
Sungguh
nikmat beribadah di Tanah Suci dan aku sangat ingin kembali. Kadang-kadang usai
shalat Maghrib, kami tidak pulang ke hotel untuk menghemat tenaga. Kami memilih
menunggu hingga ba’da Isya. Setelah shalat Isya, barulah kami pulang ke hotel
untuk makan dan istirahat.
Kadang
juga usai shalat Ashar tidak pulang ke hotel dan menunggu hingga ba’da Maghrib
di Masjidil Haram. Usai shalat Maghrib, barulah pulang untuk makan malam
dan kemudian kembali lagi ke Masjidil Haram untuk shalat Isya.
Perjalanan
dari hotel ke Masjidil Haram kala itu cukup berdebu, lantaran sejumlah hotel
dan hunian tengah dibongkar untuk kepentingan perluasan. Akan tetapi kondisi
itu tidak menyurutkan langkah jamaah untuk beribadah. Mereka tidak terusik,
persis dengan ratusan burung merpati yang tetap nyaman beterbangan bahkan
berserak di jalan.
Para
pedagang juga sangat banyak. Mudah bagi kami mendapatkan makanan Indonesia,
seperti ayam bakar, ayam goreng, hingga goreng-gorengan. Hotel tempat kami
menginap juga menyediakan makanan Indonesia nan lezat. Bahkan, karyawan hotel
melayani secara baik. Sebagai contoh, pernah suatu ketika adikku yang memang
doyan makan pedas bertanya,”Pak, saya kepengen makan bakso pedas. Di mana ada
warung bakso?”. Esok harinya, pengelola hotel langsung menyediakan menu bakso
lengkap dengan sambalnya.
Minuman
dari air putih, teh, hingga kopi dapat kami nikmati kapan saja. Itulah sisi
lain kenikmatan di Tanah Suci.
Di
Makkah, penyelenggara umrah mengajak rombongan untuk berziarah ke tempat-tempat
bersejarah seperti Jabal Uhud yang mengingatkan perjuangan Rasulullah. Di bukit
ini Nabi Muhammad SAW memimpin langsung pertempuran melawan kaum musyrikin
(kafir Quraisy) yang ingin membalas dendam akibat kekalahan di Perang Badar. Di
sisinya terdapat makam para syuhada.
Selain
itu, kami juga mengunjungi Jabal Rahmah. Sebuah bukit di sebelah selatan Padang
Arafah. Di puncak Jabal Rahmah terdapat tugu yang dibangun untuk mengenang
pertemuan antara Nabi Adam AS dan Siti Hawa setelah diturunkan dari Surga dan
dipisahkan Allah SWT selama 200 tahun.
Di
sekitar bukit ini terdapat banyak penjual jasa naik unta. Bagi jamaah yang akan
naik unta, disarankan untuk memastikan besarnya tarif terlebih dulu. Bagi kami,
naik unta tidak terlalu menarik. Justru kami ingin menaiki Jabal Rahmah untuk
memanjatkan doa. Akan tetapi karena harus menggendong anak, kami tidak bisa
naik hingga puncak.
Lantas,
jamaah diajak ke Jabal Magnet untuk melihat keajaiban. Bagaimana bus bisa
bergerak sendiri meski bebas perseneling dan gas. Tarikannya juga terasa
berubah dari lambat hingga terus meningkat semakin cepat.
Kami juga mengunjungi Jabal Nur (Gua Hira) yang terletak sekitar 5 Km di Utara Makkah. Gua Hira yag berbatu ini Rasulullah mendapat wahyu pertama.SubhanAllah...(bersambung)
Kami juga mengunjungi Jabal Nur (Gua Hira) yang terletak sekitar 5 Km di Utara Makkah. Gua Hira yag berbatu ini Rasulullah mendapat wahyu pertama.SubhanAllah...(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar