Jumat, 26 Juli 2013

Tanah Suci Makkah, Aku Kan Kembali (3)






Labaik Allahumma Labaaik, labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka La Syarikalah...

Setibanya di Masjidil Haram, ibadah umrah dimulai dengan melakukan Thawaf, mengelilingi Kabah hingga tujuh putaran. Untuk mempermudah menghitung jumlah putaran yang sudah dilalui, aku mengenakan 7 gelang karet. Setiap memulai putaran maka gelang karet dipindah dari pergelangan tangan kanan ke tangan kiri.
Ini hanyalah cara untuk mempermudah. Sebab, jika kita mampu menghapal doa-doa Thawaf atau membaca buku panduan doa, maka tak perlu menggunakan gelang karet.  Hal itu aku terapkan dalam Thawaf Sunah dan Thawaf Wada.
Banyak teman menanyakan bagaimana repotnya membawa anak saat melakukan ibadah umrah? Aku selalu bilang,”Tidak ada kesulitan apapun, semua dipermudah Allah”.
Sebab, itulah yang kurasakan. Alhamdulillah, anak-anak tidak rewel atau mengeluh, mereka selalu sehat dan bersemangat. Saat Thawaf, anakku Palwa (4) harus digendong ayahnya. Berat memang karena bobot tubuhnya mencapai 20 Kg, tapi semua berjalan lancar. Sementara aku menggandeng erat putriku yang masih duduk di kelas 6 SD. Kala itu jemaah umrah yang sedang melakukan Thawaf sangat banyak dan berdesak-desakan. Pembimbing ibadah mampu membuat kami tetap bersama dalam barisan sambil terus mengucapkan doa.
Awalnya kami mengikuti doa-doa yang dibacakan pembimbing ibadah. Tapi karena banyaknya jamaah mengucapkan doa, kadang-kadang panduan doa dari pembimbing kurang terdengar. Akhirnya justru terbawa ikut doa dari rombongan lain. Maka, lebih baik menghapalkan doa-doa yang sudah diberikan saat manasik atau membaca buku kecil panduan umrah. Tidak terlalu repot, asalkan kita melakukannya tanpa tergesa-gesa, itu saya terapkan saat Thawaf Sunah dan Thawaf Wada. 
Pada putaran pertama, aku melihat betapa banyak orang berusaha mengusap maupun mencium Hajar Aswad. Penuh sekali, berdesakan. Pada putaran berikutnya, sebenarnya kami punya kesempatan untuk mendekat ke Hajar Aswad. Saat itu kerumunan jamaah tersibak sehingga seperti ada jalan masuk ke Hajar Aswad, tapi tidak berlangsung lama karena penuh kembali.  Tak mungkin bagi kami mendekat karena membawa anak-anak. Tidak bisa dibayangkan bagaimana bila kami bersikeras mendekat, tentu anak-anak akan terdesak di tengah lautan jamaah.
Maka kami mengikuti saran pembimbing ibadah saat pra-manasik maupun manasik: Cukup menghadapkan tubuh kita ke arah Hajar Aswad sambil melambaikan tangan dan mengucapkan,”Bismillahi Allahu Akbar”.  Berbeda ketika kami melakukan Thawaf Sunah usai shalat Tahajjud, ada satu kesempatan untuk mengusap batu surga, Hajar Aswad.
Sungguh tak terlukiskan perasaan hati ini saat memutari Kabah. Antara haru, rasa syukur, bahagia, dan berharap Allah mengampuni segala dosa selama ini. Rekaman kehidupan masa lalu terbayang dan membuahkan penyesalan dalam. Maka hanya lelehan air mata yang mampu menggambarkan perasaan kami, terutama saat menjalankan shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim dan shalat sunah di Hijir Ismail.
Usai shalat di Maqam Ibrahim, ibadah dilanjutkan dengan melakukan Sa’i. Suasananya lebih longgar dibanding saat Thawaf. Bahkan anakku yang masih berusia 4 tahun minta turun dari gendongan dan berjalan sendiri. Bila diingatkan untuk berlari-lari kecil, anakku malah langsung berlari kencang. Alhamdulillah anak-anak semangat melakukan ibadah hingga prosesi tahalul, meski berlangsung pada dini hari.
Tukang cukur rambut tersebar di sekitar Masjidil Haram. Suami dan adik iparku langsung memangkas rambutnya. Sementara anakku, Palwa, menolak rambutnya dipangkas orang-orang Arab. Maka, aku sendiri yang memangkas rambutnya karena kebetulan berbekal gunting kecil.
Hari-hari berikutnya, benar-benar diisi dengan ibadah dan ibadah. Itulah nikmatnya di Tanah Suci Makkah. Urusan duniawi benar-benar ditinggalkan, dan seluruh energi, konsentrasi dan perhatian kita hanya untuk ibadah. Baik shalat wajib, shalat sunah, Thawaf Sunah, berdzikir hingga mengaji.
Masih teringat bagaimana nikmatnya saat dini hari, kami bersama-sama menuju Masjidil Haram. Angin lembut mengibas-ibaskan mukena. Sesampainya di Masjidil Haram, langsung melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid dan shalat sunah lainnya. Kemudian melakukan Thawaf Sunah, dilanjutkan melaksanakan Shalat Subuh berjamaah dan dzikir pagi.
Dengan rutin melakukan Thawaf Sunah, kami merasakan bagaimana wanginya saat menyentuh Rukun Yamani. Anakku, Lorosae, juga kuajak untuk ikut mencium wanginya selimut Kabah dan menyaksikan dari dekat Maqam Ibrahim (batu pijakan Nabi Ibrahim AS).
Suatu ketika dalam Thawaf Sunah, saya menangis saat berhasil memegang pintu Kabah. Kala itu tak ada yang mampu terucap kecuali minta ampun. Benar-benar tak ada kalimat lain terucap kecuali bertobat dan mohon hidayah. Barulah ketika shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim, kupanjatkan doa-doa termasuk mendoakan saudara, teman-teman yang memang minta didoakan.
Suatu hari tubuh terasa sangat pegal, mungkin karena selalu jalan kaki dalam jarak cukup jauh bahkan sering sambil menggendong anak. Oleh karena itu, pernah menjelang shalat malam aku ingin istirahat, tidak melakukan Thawaf Sunah sebagaimana biasa.
Usai shalat Tahiyatul Masjid dan shalat sunah, adikku dan kakakku memutuskan untuk melaksanakan Thawaf. Maka, aku ikut Thawaf. SubhanAllah, begitu memasuki putaran pertama rasa pegal langsung hilang dan aku bisa melaksanakan Thawaf.
Sungguh nikmat beribadah di Tanah Suci dan aku sangat ingin kembali. Kadang-kadang usai shalat Maghrib, kami tidak pulang ke hotel untuk menghemat tenaga. Kami memilih menunggu hingga ba’da Isya. Setelah shalat Isya, barulah kami pulang ke hotel untuk makan dan istirahat.
Kadang juga usai shalat Ashar tidak pulang ke hotel dan menunggu hingga ba’da Maghrib di Masjidil Haram.  Usai shalat Maghrib, barulah pulang untuk makan malam dan kemudian kembali lagi ke Masjidil Haram untuk shalat Isya.
Perjalanan dari hotel ke Masjidil Haram kala itu cukup berdebu, lantaran sejumlah hotel dan hunian tengah dibongkar untuk kepentingan perluasan. Akan tetapi kondisi itu tidak menyurutkan langkah jamaah untuk beribadah. Mereka tidak terusik, persis dengan ratusan burung merpati yang tetap nyaman beterbangan bahkan berserak di jalan.
Para pedagang juga sangat banyak. Mudah bagi kami mendapatkan makanan Indonesia, seperti ayam bakar, ayam goreng, hingga goreng-gorengan. Hotel tempat kami menginap juga menyediakan makanan Indonesia nan lezat. Bahkan, karyawan hotel melayani secara baik. Sebagai contoh, pernah suatu ketika adikku yang memang doyan makan pedas bertanya,”Pak, saya kepengen makan bakso pedas. Di mana ada warung bakso?”. Esok harinya, pengelola hotel langsung menyediakan menu bakso lengkap dengan sambalnya.
Minuman dari air putih, teh, hingga kopi dapat kami nikmati kapan saja. Itulah sisi lain kenikmatan di Tanah Suci.
Di Makkah, penyelenggara umrah mengajak rombongan untuk berziarah ke tempat-tempat bersejarah seperti Jabal Uhud yang mengingatkan perjuangan Rasulullah. Di bukit ini Nabi Muhammad SAW memimpin langsung pertempuran melawan kaum musyrikin (kafir Quraisy) yang ingin membalas dendam akibat kekalahan di Perang Badar. Di sisinya terdapat makam para syuhada.
Selain itu, kami juga mengunjungi Jabal Rahmah. Sebuah bukit di sebelah selatan Padang Arafah. Di puncak Jabal Rahmah terdapat tugu yang dibangun untuk mengenang pertemuan antara Nabi Adam AS dan Siti Hawa setelah diturunkan dari Surga dan dipisahkan Allah SWT selama 200 tahun.
Di sekitar bukit ini terdapat banyak penjual jasa naik unta. Bagi jamaah yang akan naik unta, disarankan untuk memastikan besarnya tarif terlebih dulu. Bagi kami, naik unta tidak terlalu menarik. Justru kami ingin menaiki Jabal Rahmah untuk memanjatkan doa. Akan tetapi karena harus menggendong anak, kami tidak bisa naik hingga puncak.

Lantas, jamaah diajak ke Jabal Magnet untuk melihat keajaiban. Bagaimana bus bisa bergerak sendiri meski bebas perseneling dan gas. Tarikannya juga terasa berubah dari lambat hingga terus meningkat semakin cepat.
Kami juga mengunjungi Jabal Nur (Gua Hira) yang terletak sekitar 5 Km di Utara Makkah. Gua Hira yag berbatu ini Rasulullah mendapat wahyu pertama.SubhanAllah...(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar