Minggu, 17 November 2013

Allah Ciptakan Keindahan Bromo untuk Negeriku



Sejujurnya, aku tidak pernah memimpikan jalan-jalan ke Bromo. Namun secara kebetulan aku  dan keluarga mendapat “hadiah” dari Allah untuk menikmati keindahan Bromo pada Juli 2013.
Tepatnya sepekan sebelum Ramadan, aku memenuhi janjiku untuk mengantar kakak dan ponakan menemui ibu mertua/nenek yang sudah sepuh di Lumajang, Jawa Timur.
Aku dan suami yang berencana jalan-jalan ke Lombok, memilih membatalkan rencana tersebut demi ke Jawa Timur. Akhirnya kami memilih bersilaturahmi ke Lumajang sembari jalan-jalan.
Pilihan kami jatuh ke Batu, Malang dan Bromo. Berangkat menggunakan KA Gajayana dengan tiket Rp400.000/orang (Gambir-Malang) dan pulang menggunakan Lion Air dari Bandara Juanda-Bandara Soeta Rp550.000/orang (tarif terbilang mahal karena sedang musim liburan).

Coban Rondo, Batu
Sebulan sebelum berangkat ke Jawa Timur, aku sudah memesan tiket kereta api dan pesawat. Disusul kemudian menyewa villa di Batu dengan biaya Rp 1 juta per malam, menyewa mobil untuk tiga hari sekitar Rp1,2 juta (belum termasuk bensin dan tips untuk pengemudi), dan menyewa penginapan di kaki Bromo Rp 600 ribu/malam untuk tiga kamar tidur. Semua nomor kontak saya peroleh dari internet.

Persiapan tersebut membuat perjalanan sangat menyenangkan dan serba beres. Kami berangkat beramai-ramai bersama suami, anakku Lorosae (13) dan Muhammad Palwa (5,5), kakakku Mbak Puji, ponakanku Ghista, adikku Yekti bersama suaminya, Heri, dan anaknya, Kenzi (1,5 tahun).

Berangkat dari Stasiun Gambir sekitar pukul 18.00, tiba di Stasiun Malang Kota sekitar pukul 09.15. Mobil yang kusewa juga sudah siap di stasiun.
Lantaran villa di Batu baru check in jam 14.00, maka tujuan awal kami adalah kuliner dan mengunjungi air terjun Coban Rondo.

Udara sejuk menyapa kami saat memasuki Coban Rondo. Tubuh seketika menjadi segar setelah berjam-jam di perjalanan. Air yang mengalir di sungai masih bersih dan dingin.

Setelah cukup lama menikmati Coban Rondo, kami menuju villa untuk check in. Lantas, kami istirahat untuk kemudian mengunjungi Batu Night Spectacular (BNS). Lokasi wisata ini berisi permainan untuk menguji nyali, mirip Dufan, Ancol. Tentu saja fasilitas permainannya masih lebih lengkap di Dufan.

Sekitar pukul 20.30 WIB, kami meninggalkan BNS dan menuju sebuah warung makan penyedia sate kelinci. Ini atas petunjuk pengemudi mobil yang kami sewa, katanya sate kelinci salah satu kuliner khas Batu.
Usai menikmati sate kelinci yang rasanya memang beda dan lebih keras dibanding sate ayam, kami kembali ke villa untuk istirahat.

Pintu Masuk BNS, Batu
Pagi hari sekitar pukul 07.30, kami pergi ke Lumajang via Malang-Pasuruan-Probolinggo. Jalan raya yang kami lalui cukup lancar. Lantaran itulah tak sedikit kendaraan melaju kencang. Pengemudi pun harus ekstra hati-hati karena banyaknya mobil yang suka menyalip.

Empat jam kemudian kami tiba di Lumajang. Setelah bersilaturahmi dengan mertua kakakku, sekitar pukul 16.00 kami berangkat ke Bromo.

Oleh karena kami sudah memesan penginapan di Bromo Surya Indah, di Wonokitri, maka jalur yang kami lalu adalah Pasuruan.

Untuk menuju Bromo, sebenarnya bisa dilakukan dari Batu (Malang), Probolinggo, maupun Pasuruan. Misalkan kita mau berangkat dari Batu, tinggal memesan jip yang akan membawa kita ke Gunung Bromo.
Bromo melalui Probolinggo merupakan jalur paling popular. Menurut pengemudi jip yang mengantar kami mengelilingi Bromo, perbedaan berangkat dari Probolinggo dan Pasuruan hanya soal waktu.

Jika menginap di Probolinggo, untuk bisa menikmati matahari terbit di pananjakan Bromo kita harus berangkat lebih cepat dibanding dari Pasuruan. Sebab, jarak Probolinggo dengan Pananjakan lebih jauh dibanding Pasuruan ke Bromo.
Sebagai contoh, jika kita menginap di Probolinggo, maka kita harus sudah berangkat ke Pananjakan sekitar pukul 02.30-03.00 WIB. Sedangkan bila kita menginap di Pasuruan, kita bisa berangkat pukul 04.00 WIB.

Bersama Jip sewaan
Soal penginapan, baik di Probolinggo maupun Pasuruan sama mudahnya. Untuk bisa menikmati air gunung yang sangat dingin seperti es, sebaiknya pilih penginapan yang berada di kaki gunung seperti di Wonokitri (bukan hotel di dalam kota). Jangan khawatir, di sana banyak penduduk yang menyewakan kamar untuk tempat menginap.

Bila kita tidak sempat memesan tempat, Anda bisa berkonsultasi kepada petugas pos yang berja
ga sebelum memasuki Wonokitri. Tanpa Anda tanya pun, banyak warga yang menawarkan penginapan.

Soal makan di penginapan, kita juga bisa memesan makanan. Namun sebaiknya kita juga membawa perbekalan, karena dalam cuaca dingin perut mudah sekali lapar.

Kembali ke perjalanan kami, untuk menuju Wonokitri dari Kota Pasuruan, kami harus melalui perjalanan yang menanjak dan berliku-liku. Untungnya kondisi jalan sangat mulus. Di kanan kiri jalan adalah hutan, dan hanya sesekali tampak perumahan penduduk.

Sayangnya kami melalui jalan tersebut dalam kondisi gelap (sudah malam), jadi kami tidak bisa menikmati indahnya pepohonan. Pengemudi pun harus ekstra hati-hati lantaran jalanan yang berkelok-kelok.

Sekitar 1-2 Km menjelang penginapan Bromo Surya Indah, mobil kami dihentikan petugas pos. Jauh hari pengelola Bromo Surya Indah berpesan,”Ibu, kalau ditanya petugas pos, jawab saja: kami tamu Pak Teguh. Nanti ibu langsung disuruh melanjutkan perjalanan”.
Betul juga, ketika kami sampaikan pada petugas pos bahwa kami adalah tamu Pak Teguh, kami dipersilakan jalan kembali. Rupanya, nama Pak Teguh ini populer.
Bromo Surya Indah memiliki tempat parkir yang lapang. Begitu kami tiba, pengelola penginapan yakni Ibu Teguh, langsung menyambut kami. Kami pun memesan makanan untuk makan malam. Anda ingin tahu apa makanannya? Wow....sangat sederhana tapi lezatttt, karena hangat.

Makanan yang dihidangkan nasi panas, tumis kedelai campur tauge pedas, kerupuk, sup panas, tempe tahu, telur ceplok, dan sambal. Untuk kami sembilan orang, harga makanan tersebut hanya sekitar Rp 125.000.

Setelah makan malam, beberapa sopir menawarkan sewa jip. Lumayan mahal, sewa jip Rp 600.000, sebab saat itu musim liburan. Kami pun menyewa 2 jip agar sedikit lega. Satu jip berisi 5 orang dan satu jip 4 orang.

Di Penginpan Bromo Surya Indah
Biarpun sewa jip mahal, tapi sebanding dengan apa yang kita dapatkan. Perlakuan sopir jip sangat baik, memandu kami, dan semua view bisa kami nikmati sesuka hati. Sopir jip berjanji akan menjemput kami pukul 04.00 WIB.

Udara yang sangat dingin membuat kami tidur dalam kondisi baju siap berangkat ke gunung. Kami memakai jaket tebal, sarung tangan, kaos kaki, dan penutup kepala (Barang-barang perlengkapan ini bisa dibeli di lokasi penginapan).

Pukul 04.00 kami dijemput sopir. Semua telah bersiap. Begitu keluar dari penginapan, Masya Allah ratusan jip telah bersiap membawa para wisatawan. Dalam udara yang sangat dingin, kami menuju jip.
Beberapa menit kemudian, jip-jip itu melakukan konvoi menuju Pananjakan 1 untuk menyaksikan indahnya matahari terbit di puncak Bromo. Di sini, udara sangat dingin. Biarpun sudah mengenakan jaket tebal, udara masih menembus tulang-tulang kami.


Warung makan di Pananjakan

Oleh karena itu, kami putuskan menyewa jaket parasut tebal Rp 10.000 per jaket. Untuk menyewa jaket ini mudah saja, karena penyewa menyambut kami begitu turun dari jip. Soal pengembalian, nanti ada petugas lain yang mencari kami. Jadi kita nggak perlu repot-repot mengembalikan.
Oh ya, di Pananjakan ini juga banyak warung makan. Sambil menunggu matahari terbit, kita bisa menghangatkan badan dengan minum kopi, teh panas, maupun makanan penghangat lainnya.


Setelah matahari terbit (1)
Untuk shalat Subuh, di Pananjakan terdapat ruang kecil yang dijadikan musala. Kami berwudhu menggunakan air aqua dan kemudian shalat Subuh. Setelah itu, baru melanjutkan ke tempat paling tinggi untuk menyaksikan matahari terbit.

Kami harus melalui tanjakan yang berundak-undak. Bagi wisatawan yang membawa anak kecil, tak perlu khawatir karena di sini banyak orang menawarkan jasa menggendong anak bertarif Rp5.000-10.000. 

Namun karena suasana gelap, disarankan untuk berpegangan pada sang penggendong bila Anda ingin memanfaatkan jasanya agar tak terpisah dengan si buah hati.


Setelah matahari terbit (2)
Begitu sampai di puncak, suasana cukup berjejal. Akan tetapi kami bisa melihat proses menyembulnya matahari yang lebih mirip dengan kuning telur asin. Lalu perlahan, matahari menampakkan sinarnya menimbulkan gradasi warna pada pepohonan di sekitarnya. Indah sekali, Masya Allah.......

Cantik nian Bromo. Rasanya sulit melukiskan keindahan itu dengan kata-kata. Yang terucap hanyalah,”SubhanAllah, Masya Allah...”

Usai menyaksikan proses terbitnya matahari di pucuk Bromo, jip membawa kami menikmati Pananjakan II, Bukit Teletubies dan Padang Savana, Kawah Bromo, dan Pasir Berbisik.
Mengapa disebut bukit teletubies, karena bukitnya memang mirip dengan bukit di film anak-anak teletubies. Terlihat sangat lembut dan memiliki lubang (lembah) tempat munculnya tokoh teletubies.

Di Bukit Teletubies
Di sini kita bisa naik kuda di tengah-tengah padang savana hanya dengan tarif Rp 50.000. Berfoto dengan latar belakang bukit teletubies. Indah....sekali. Rasanya, ini perjalanan sangat menyenangkan.

Setelah itu, jip membawa kami menuju Pasir Berbisik. Mengapa disebut Pasir Berbisik, karena lokasi ini pernah dijadikan lokasi syuting film 'Pasir Berbisik' yang diperankan Dian Sastro dan Christine Hakim.






Menurutku, Pasir Berbisik adalah lokasi terindah. Di sini terdapat banyak gundukan pasir, lebih mirip gunung pasir kecil-kecil yang mengagumkan. Kesannya, gundukan pasir yang terjadi secara alamiah ini seperti dibentuk. Ya, inilah kebesaran Allah, memberikan pemandangan yang luar biasa untuk dinikmati manusia.


Aksi di Pasir Berbisik (1)
Di tengah padang pasir yang sangat luas dan matahari mulai memancarkan sinarnya, udara tetap terasa sejuk.  Kami nyaman-nyaman saja berada di sana, befoto-foto dengan latar belakang gundukan pasir nan lembut.

Di kejauhan juga tampak Gunung Batok yang berwarna hijau tua. Gunung Batok ini konon terbentuk setelah Gunung Bromo meletus. Bentuknya mungil, namun warna hijaunya tergradasi karena pengaruh sinar matahari. Hal itu membuat warna hijau gunung berbeda-beda, dari hijau tua, hijau muda, hingga kekuningan. Indah sekali.

Di Pasir Berbisik terdapat satu warung kopi. Uniknya, air panas yang digunakan bukan dimasak, melainkan dipendam di dalam pasir hingga mendidih.

Penjualnya adalah seorang wanita asli Suku Tengger. Untuk bisa berjualan kopi, ia harus turun naik bukit di sekitar Pasir Berbisik. Meskipun untuk menjualnya ia perlu menempuh perjalanan terjal, harga jualannya masih murah. Oleh karena jangan khawatir jika akan minum kopi di sini.


Aksi di Pasir Berbisik (2)
Setelah menikmati keindahan Pasir Berbisik, perjalanan dilanjutkan untuk menikmati Kawah Bromo. Setelah menuruni jalan berkelok-kelok dan terjal, jip memasuki padang maha luas. Di sinilah jip terparkir.
Untuk menuju Kawah Bromo kita bisa menaiki kuda dengan tarif Rp 125.000 (pp). Namun jika Anda punya tenaga lebih, bisa saja jalan kaki. Anda bisa menyusuri tanjakan yang sangat tinggi dan berundak-undak. Di sebelah kiri jalan terdapat pura sebagai tempat ibadah umat Hindu.
Untuk bisa menikmati Bromo, kita tak harus menggunakan jip. Jika dana kita terbatas atau ingin menghemat, kita dapat menggunakan sepeda motor baik bawa sendiri maupun menyewa. Meski begitu Anda  harus ekstra hati-hati karena jalanan cukup terjal, berkelok-kelok, dan berpasir.


Gunung Batok
Perjalanan panjang yang tidak melelahkan sama sekali dan sarat kesan. Allah telah menciptakan keindahan Bromo untuk Negeriku.... 








Kontak Penginapan:

Pak Teguh (0812-34664234)

Minggu, 04 Agustus 2013

Tanah Suci Makkah, Aku Kan Kembali (4)





Labaik Allahumma Labaaik, Labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka La Syarikalah...

Selama perjalanan ke tempat-tempat bersejarah, aku membayangkan betapa berat perjuangan Rasulullah SAW dan para sahabat dalam menegakkan agama Tauhid. Gunung-gunung tandus dan tanah lapang berpasir tanpa penerangan menyisakan kenangan itu.
Kondisi geografis sangat sulit, terjal, dan tanpa ada listrik seperti saat ini. Namun begitu, Rasulullah beserta para sahabat dan pengikutnya selalu shalat berjamaah.
Alangkah malunya jika kita tak mengikuti jejak Rasulullah, selalu shalat berjamaah di mesjid. Padahal, kita hidup di zaman penuh fasilitas: Banyak mesjid indah dan megah, berkarpet tebal, dilengkapi penerang listrik, berkipas angin bahkan AC, mudah dijangkau baik jalan kaki maupun menggunakan kendaraan, dan masih banyak lagi fasilitas yang mempermudah kita beribadah.
Menjelang berakhirnya masa tinggal kami di Makkah, Allah masih memberikan hadiah terindah. Penyelenggara umrah memberitahukan bahwa usai Thawaf Wada kami akan berangkat ke Jeddah lalu menuju Istanbul, Turki. Di sana kita akan transit dan city tour sehari penuh. Itu adalah rizki yang tidak disangka-sangka, karena kami memakai paket umrah reguler (bukan plus). Secara kebetulan saja kami menggunakan Turkish Airlines dan mendapat fasilitas ini.
Kami melakukan Thawaf Wada dengan sangat khusyuk. Sungguh sedih meninggalkan Masjidil Haram. Terlalu banyak kenangan indah dan sangat berharga bagiku. Shalat di Masjidil Haram sangat nyaman, khusyuk, dengan shaf begitu rapat. Di sana aku bisa berkenalan dengan saudara-saudara sesama muslim dari berbagai belahan dunia, seperti Turki, Pakistan, Thailand, Mesir, dan Malaysia. Setiap menjelang atau sesudah shalat, biasanya kami menyempatkan diri meneguk air zam zam.
Maka begitu harus meninggalkan Masjidil Haram, hatiku sangat sediiiihh....Ya Allah, izinkan kami kembali ke Baitullah suatu saat nanti.
Perjalanan ke Jeddah sesungguhnya kurang menggembirakanku karena masih sangat ingin tinggal di Makkah.
Aku pribadi juga sempat merasakan shock culture di Jeddah. Bagaimana tidak, dari beberapa hari tinggal di Madinah dan Makkah yang sangat religius, tertib, teratur, tiba-tiba harus berada di Jeddah yang nuansa kosmopolitannya sangat terasa.
Di Jeddah, kami mengunjungi Laut Merah. Lalu menuju pusat perbelanjaan Balad dan diarahkan ke Toko Ali Murah. Baru saja mau membeli kaus anak-anak, tiba-tiba karyawannya mengingatkan kami bahwa adzan Isya berkumandang, sehingga kami menghentikan aktivitas dan segera ke mesjid. Mesjid itu berada di sebuah pusat perbelanjaan. Begitu aku masuk ke tempat wudhu, alangkah kagetnya melihat beberapa wanita sedang mengobrol (tidak bergegas ke mesjid) dan di antaranya terlihat merokok.
Menurut pembimbing kami, pemandangan itu harus dimaklumi. Sebab, warga yang bermukim di Jeddah sangat heterogen, banyak suku bahkan non-muslim juga bisa tinggal di sana. Berbeda dengan Makkah dan Madinah sebagai kota suci.
Di sekitar pusat perbelajaan Balad, kami diuji kesabaran saat menghadapi para pedagang asongan. Para pedagang ini, di antaranya pedagang asal Indonesia, cenderung setengah memaksa dalam menjual. Mereka naik ke dalam bus. Biarpun kami sudah mengatakan”Maaf, kami tidak mau belanja”, tetap saja si pedagang tak mau beranjak dari samping kita.
Untunglah, penyelenggara umrah segera memberangkatkan bus menuju bandara King Abdul Azis. Setelah menunggu lama, kami berangkat menggunakan Turkish Airlines yang sangat nyaman. Pesawat ini dilengkapi game layar sentuh yang menawarkan banyak permainan, film, musik berbagai aliran, bahkan alunan ayat suci Al Quran, sehingga anak-anakku nggak rewel atau jenuh.
Pelayanannya sangat bagus. Air berlimpah, sehingga tidak kesulitan untuk berwudhu atau sikat gigi. Namun agar tidak mengotori toilet kering pesawat, kami berwudhu menggunakan waslap basah (sebagaimana dicontohkan ustaz saat pra-manasik).
Soal makanan juga tidak ada masalah, meski tentu berbeda dengan makanan Indonesia. Akan tetapi makanan untuk bayi agak kurang pas untuk anakku, seperti kuning telur yang dikocok dan dikukus sehingga lebih mirip bubur kuning telur. Rasanya cenderung hambar. Akhirnya anakku makan makanan yang diperuntukkan bagi orang dewasa.
Sampai di Bandara Istanbul, cuaca sangat dingin. Setelah melewati Imigrasi, kami telah dijemput bus pariwisata yang bersih dan mewah. Tujuan pertama kami adalah menikmati makanan khas Turki di sebuah restoran. Di sana kami lebih banyak tertawa. Banyak makanan yang tidak kami tahu bagaimana cara menyantapnya. Sampai-sampai ada seorang jamaah umrah berkelakar,”Saya diemmm aja dari tadi, lagi mikir. Ini makanan apa? Lha di kampus nggak pernah diajarin.”
Memang ada menu mirip kue mangkuk tapi terlalu manis, sehingga rombongan umumnya tidak mau menyantap. Ada makanan “penyelamat” dari rasa lapar yakni telur rebus dan roti gandum.
Singkat cerita, kami dibawa pemandu dari Turki ke sebuah pabrik jaket kulit. Harganya relatif mahal karena berlaku mata uang Euro.
Dari sana, kami berlanjut menuju Blue Mosque (The Sultan Ahmed Mosque). Ini adalah mesjid bersejarah di Istanbul yang dibangun pada tahun 1609-1616. Mengapa disebut Blue Mosque karena ubin dan dinding interiornya berwarna biru. Akan tetapi saat kita masuk ke sana, bangunan sudah berubah, terasa sangat dingin, lembab, berair dan gelap. Hanya suara air mengalir terdengar.
Lalu kami menuju Topkapi Palace Museum. Ini kunjungan yang sangat berkesan dan aku sangat bersyukur atas anugerah dari Allah. Berbagai peninggalan Rasulullah SAW, para sahabat, dan putri Beliau Fatima Az-Zahra terdapat di sana.
Dulu, Topkapi adalah istana kediaman Sultan Utsmaniyah selama lebih dari 600 tahun (1465-1856). Dalam catatan sejarah, istana ini dibangun atas perintah Sultan Mahmed II pada 1459. Kompleks istana terdiri dari sejumlah bangunan kecil, taman bersih dan indah. Dari kompleks istana kami juga bisa memandang selat Bosphorus nan biru.
Berdasarkan informasi dari guide, setelah keluarga sultan memilih tinggal di Dolmabache Palace, tempat ini berubah fungsi menjadi museum.
Yang paling berkesan di Topkapi Palace Museum saat memasuki Sacred Relics.  Di museum yang merupakan bekas ruang pribadi sultan, terdapat berbagai peninggalan Rasulullah SAW yang masih tersimpan dengan baik. Terdapat pedang milik Nabi Muhammad SAW  yang sangat indah dengan hiasan batu-batuan berwarna-warni. Ada pula sejumlah pedang milik para sahabat Nabi, seperti milik Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, bahkan pedang Hussein.
Ada pula busana Fatima yang masih terlihat utuh. Peninggalan Fatima ini mencontohkan gaya pakaian seorang muslimah: Sebuah jubah lengan panjang, tebal, namun terkesan feminin.
Yang mengharukan lagi ada jejak kaki Nabi Muhammad SAW, beberapa helai jenggot dan rambut Nabi Muhammad SAW yang tersimpan dalam kotak kaca. Melihat jejak kaki dan jenggot Nabi, rasanya sangat mengharukan. Bagaimana tidak, selama ini kita tidak tahu bagaimana rupa junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Begitu melihat peninggalannya di Topkapi Palace, rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu.
Di sini juga terdapat mantel Nabi, tongkat Nabi Musa AS, tempat minum Nabi Ibrahim AS, kunci-kunci Kabah, pembungkus Hajar Aswad. Apa yang kulihat di museum ini benar-benar melengkapi apa yang telah kudapat dari Madinah dan Makkah.

Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah....Ya Allah, hamba sangat bahagia bisa ke Baitullah dan melihat langsung peninggalan Rasulullah di Topkapi. Ya Allah, kini hamba selalu dicekam kerinduan untuk kembali ke Makkah dan Madinah. Berikan kemudahan kepada kami untuk kembali...Aamiin (Selesai)

Jumat, 26 Juli 2013

Tanah Suci Makkah, Aku Kan Kembali (3)






Labaik Allahumma Labaaik, labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka La Syarikalah...

Setibanya di Masjidil Haram, ibadah umrah dimulai dengan melakukan Thawaf, mengelilingi Kabah hingga tujuh putaran. Untuk mempermudah menghitung jumlah putaran yang sudah dilalui, aku mengenakan 7 gelang karet. Setiap memulai putaran maka gelang karet dipindah dari pergelangan tangan kanan ke tangan kiri.
Ini hanyalah cara untuk mempermudah. Sebab, jika kita mampu menghapal doa-doa Thawaf atau membaca buku panduan doa, maka tak perlu menggunakan gelang karet.  Hal itu aku terapkan dalam Thawaf Sunah dan Thawaf Wada.
Banyak teman menanyakan bagaimana repotnya membawa anak saat melakukan ibadah umrah? Aku selalu bilang,”Tidak ada kesulitan apapun, semua dipermudah Allah”.
Sebab, itulah yang kurasakan. Alhamdulillah, anak-anak tidak rewel atau mengeluh, mereka selalu sehat dan bersemangat. Saat Thawaf, anakku Palwa (4) harus digendong ayahnya. Berat memang karena bobot tubuhnya mencapai 20 Kg, tapi semua berjalan lancar. Sementara aku menggandeng erat putriku yang masih duduk di kelas 6 SD. Kala itu jemaah umrah yang sedang melakukan Thawaf sangat banyak dan berdesak-desakan. Pembimbing ibadah mampu membuat kami tetap bersama dalam barisan sambil terus mengucapkan doa.
Awalnya kami mengikuti doa-doa yang dibacakan pembimbing ibadah. Tapi karena banyaknya jamaah mengucapkan doa, kadang-kadang panduan doa dari pembimbing kurang terdengar. Akhirnya justru terbawa ikut doa dari rombongan lain. Maka, lebih baik menghapalkan doa-doa yang sudah diberikan saat manasik atau membaca buku kecil panduan umrah. Tidak terlalu repot, asalkan kita melakukannya tanpa tergesa-gesa, itu saya terapkan saat Thawaf Sunah dan Thawaf Wada. 
Pada putaran pertama, aku melihat betapa banyak orang berusaha mengusap maupun mencium Hajar Aswad. Penuh sekali, berdesakan. Pada putaran berikutnya, sebenarnya kami punya kesempatan untuk mendekat ke Hajar Aswad. Saat itu kerumunan jamaah tersibak sehingga seperti ada jalan masuk ke Hajar Aswad, tapi tidak berlangsung lama karena penuh kembali.  Tak mungkin bagi kami mendekat karena membawa anak-anak. Tidak bisa dibayangkan bagaimana bila kami bersikeras mendekat, tentu anak-anak akan terdesak di tengah lautan jamaah.
Maka kami mengikuti saran pembimbing ibadah saat pra-manasik maupun manasik: Cukup menghadapkan tubuh kita ke arah Hajar Aswad sambil melambaikan tangan dan mengucapkan,”Bismillahi Allahu Akbar”.  Berbeda ketika kami melakukan Thawaf Sunah usai shalat Tahajjud, ada satu kesempatan untuk mengusap batu surga, Hajar Aswad.
Sungguh tak terlukiskan perasaan hati ini saat memutari Kabah. Antara haru, rasa syukur, bahagia, dan berharap Allah mengampuni segala dosa selama ini. Rekaman kehidupan masa lalu terbayang dan membuahkan penyesalan dalam. Maka hanya lelehan air mata yang mampu menggambarkan perasaan kami, terutama saat menjalankan shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim dan shalat sunah di Hijir Ismail.
Usai shalat di Maqam Ibrahim, ibadah dilanjutkan dengan melakukan Sa’i. Suasananya lebih longgar dibanding saat Thawaf. Bahkan anakku yang masih berusia 4 tahun minta turun dari gendongan dan berjalan sendiri. Bila diingatkan untuk berlari-lari kecil, anakku malah langsung berlari kencang. Alhamdulillah anak-anak semangat melakukan ibadah hingga prosesi tahalul, meski berlangsung pada dini hari.
Tukang cukur rambut tersebar di sekitar Masjidil Haram. Suami dan adik iparku langsung memangkas rambutnya. Sementara anakku, Palwa, menolak rambutnya dipangkas orang-orang Arab. Maka, aku sendiri yang memangkas rambutnya karena kebetulan berbekal gunting kecil.
Hari-hari berikutnya, benar-benar diisi dengan ibadah dan ibadah. Itulah nikmatnya di Tanah Suci Makkah. Urusan duniawi benar-benar ditinggalkan, dan seluruh energi, konsentrasi dan perhatian kita hanya untuk ibadah. Baik shalat wajib, shalat sunah, Thawaf Sunah, berdzikir hingga mengaji.
Masih teringat bagaimana nikmatnya saat dini hari, kami bersama-sama menuju Masjidil Haram. Angin lembut mengibas-ibaskan mukena. Sesampainya di Masjidil Haram, langsung melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid dan shalat sunah lainnya. Kemudian melakukan Thawaf Sunah, dilanjutkan melaksanakan Shalat Subuh berjamaah dan dzikir pagi.
Dengan rutin melakukan Thawaf Sunah, kami merasakan bagaimana wanginya saat menyentuh Rukun Yamani. Anakku, Lorosae, juga kuajak untuk ikut mencium wanginya selimut Kabah dan menyaksikan dari dekat Maqam Ibrahim (batu pijakan Nabi Ibrahim AS).
Suatu ketika dalam Thawaf Sunah, saya menangis saat berhasil memegang pintu Kabah. Kala itu tak ada yang mampu terucap kecuali minta ampun. Benar-benar tak ada kalimat lain terucap kecuali bertobat dan mohon hidayah. Barulah ketika shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim, kupanjatkan doa-doa termasuk mendoakan saudara, teman-teman yang memang minta didoakan.
Suatu hari tubuh terasa sangat pegal, mungkin karena selalu jalan kaki dalam jarak cukup jauh bahkan sering sambil menggendong anak. Oleh karena itu, pernah menjelang shalat malam aku ingin istirahat, tidak melakukan Thawaf Sunah sebagaimana biasa.
Usai shalat Tahiyatul Masjid dan shalat sunah, adikku dan kakakku memutuskan untuk melaksanakan Thawaf. Maka, aku ikut Thawaf. SubhanAllah, begitu memasuki putaran pertama rasa pegal langsung hilang dan aku bisa melaksanakan Thawaf.
Sungguh nikmat beribadah di Tanah Suci dan aku sangat ingin kembali. Kadang-kadang usai shalat Maghrib, kami tidak pulang ke hotel untuk menghemat tenaga. Kami memilih menunggu hingga ba’da Isya. Setelah shalat Isya, barulah kami pulang ke hotel untuk makan dan istirahat.
Kadang juga usai shalat Ashar tidak pulang ke hotel dan menunggu hingga ba’da Maghrib di Masjidil Haram.  Usai shalat Maghrib, barulah pulang untuk makan malam dan kemudian kembali lagi ke Masjidil Haram untuk shalat Isya.
Perjalanan dari hotel ke Masjidil Haram kala itu cukup berdebu, lantaran sejumlah hotel dan hunian tengah dibongkar untuk kepentingan perluasan. Akan tetapi kondisi itu tidak menyurutkan langkah jamaah untuk beribadah. Mereka tidak terusik, persis dengan ratusan burung merpati yang tetap nyaman beterbangan bahkan berserak di jalan.
Para pedagang juga sangat banyak. Mudah bagi kami mendapatkan makanan Indonesia, seperti ayam bakar, ayam goreng, hingga goreng-gorengan. Hotel tempat kami menginap juga menyediakan makanan Indonesia nan lezat. Bahkan, karyawan hotel melayani secara baik. Sebagai contoh, pernah suatu ketika adikku yang memang doyan makan pedas bertanya,”Pak, saya kepengen makan bakso pedas. Di mana ada warung bakso?”. Esok harinya, pengelola hotel langsung menyediakan menu bakso lengkap dengan sambalnya.
Minuman dari air putih, teh, hingga kopi dapat kami nikmati kapan saja. Itulah sisi lain kenikmatan di Tanah Suci.
Di Makkah, penyelenggara umrah mengajak rombongan untuk berziarah ke tempat-tempat bersejarah seperti Jabal Uhud yang mengingatkan perjuangan Rasulullah. Di bukit ini Nabi Muhammad SAW memimpin langsung pertempuran melawan kaum musyrikin (kafir Quraisy) yang ingin membalas dendam akibat kekalahan di Perang Badar. Di sisinya terdapat makam para syuhada.
Selain itu, kami juga mengunjungi Jabal Rahmah. Sebuah bukit di sebelah selatan Padang Arafah. Di puncak Jabal Rahmah terdapat tugu yang dibangun untuk mengenang pertemuan antara Nabi Adam AS dan Siti Hawa setelah diturunkan dari Surga dan dipisahkan Allah SWT selama 200 tahun.
Di sekitar bukit ini terdapat banyak penjual jasa naik unta. Bagi jamaah yang akan naik unta, disarankan untuk memastikan besarnya tarif terlebih dulu. Bagi kami, naik unta tidak terlalu menarik. Justru kami ingin menaiki Jabal Rahmah untuk memanjatkan doa. Akan tetapi karena harus menggendong anak, kami tidak bisa naik hingga puncak.

Lantas, jamaah diajak ke Jabal Magnet untuk melihat keajaiban. Bagaimana bus bisa bergerak sendiri meski bebas perseneling dan gas. Tarikannya juga terasa berubah dari lambat hingga terus meningkat semakin cepat.
Kami juga mengunjungi Jabal Nur (Gua Hira) yang terletak sekitar 5 Km di Utara Makkah. Gua Hira yag berbatu ini Rasulullah mendapat wahyu pertama.SubhanAllah...(bersambung)