![]() |
Soko Tunggal (atas). Halaman depan Masjid Soko Tunggal (bawah). (foto: Marmi Panti Hidayah) |
Oleh: Marmi Panti Hidayah
Shalat
ku ingat pasti. Ketika ku pergi, Masjid selalu pertama yang kucari agar Alloh
selalu dekat di hati & tenanglah diri.
Kalimat tersebut tersurat dalam standing banner yang
terpasang di depan Masjid Soko Tunggal. Masjid itu terletak di kawasan Taman
Sari, Njeron Beteng Kraton Jogjakarta.
Ketika itu, jarum jam di tangan masih menunjukkan pukul
delapan pagi. Loket tiket wisata Taman Sari belum buka, tetapi wisatawan lokal
maupun mancanegara sudah bergerombol bersiap melancong.
Gerombolan wisatawan tidak terlalu menarik perhatian.
Justru kalimat dalam standing banner ini menyentuhku. Jujur, setiap melakukan
perjalanan terutama mendekati waktu shalat fardhu maupun sunnah, masjid selalu dicari.
Selain untuk beribadah, masjid di masing-masing wilayah umumnya memiliki
keunikan dan keindahan tersendiri.
Oleh karena itu, tak kusia-siakan waktu begitu tiba di
pintu masuk Masjid Soko Tunggal. Segera kutunaikan shalat Dhuha.
![]() |
Pintu gerbang Masjid Soko Tunggal, Jogjakarta. (foto: Iwang Dwiartha Noegroho) |
Suasana masjid sangat tenang. Tempat wudhu pria dan
wanita terpisah, masing-masing berada di sayap bangunan sebelah kanan dan kiri.
Di dinding dekat tempat wudhu, terdapat tulisan peringatan agar menjaga
ketenangan karena ada jamaah yang sedang berzikir.
Setelah menunaikan shalat Dhuha, sambil melipat mukena
pandangan mata tertarik pada tiang penyangga utama (Soko Guru) yang terpancang
kuat di interior masjid.
Masjid Soko Tunggal ini dibangun dengan arsitektur khas
Jawa. Ini tampak dari desain joglo pada atap masjid. Bangunan joglo umumnya
ditopang beberapa soko guru. Tetapi di Masjid Soko Tunggal ini menggunakan tiang
tunggal yang kokoh, dan ditopang batu penyangga yang disebut Umpak yang berasal dari pemerintahan Sultan Agung
Hanyokro Kusumo dari Kerajaan Islam Mataram.
Warna tiang utama cokelat tua, kokoh, dan berukir. Soko
Guru ini ternyata sebuah simbol dari lambang sila pertama Pancasila. Dan lima
sila dari lambang negara ini juga diwujudkan dalam bentuk 4 buah Saka Bentung
dan 1 buah Soko Guru.
Ukiran dalam Soko Guru juga memiliki perlambang yang
mesti dihayati. Dalam blog Masjid Soko
Tunggal disebutkan, ukiran-ukiran dalam Soko Guru ini memiliki bermacam
makna.
Ukiran Probo berarti bumi, tanah, dan kewibawaan.
Ukiran Saton berarti menyendiri, sawiji. Sedangkan Sorot berarti sinar cahaya
matahari.
Tlacapan berarti panggah, tabah dan tangguh. Ceplok-ceplok
berarti pemberantas angkara murka. Ukiran mirong berarti maejan. Bahwa semuanya
kelak pasti dipanggil Allah SWT.
Ukiran tetesan embun diantara daun dan bunga yang terdapat
di balok uleng, bermakna, siapa yang salat di masjid ini semoga dapat anugerah
Allah SWT.
Siapa perancang masjid penuh filosofi ini? Ternyata adalah
seorang arsitek Kraton Jogjakarta, R Ngabehi Mintobudoyo. Sang arsitek sudah
tiada, namun konsepnya dalam merancang bangun masjid tetap hidup.
R Ngabehi Mintobudoyo tidak hanya menyisipkan makna pada
ukiran, tapi juga pada konstruksi bangunan masjid.
Di salah satu tempat berbentuk bahu dayung merupakan
perlambang, orang-orang yang beribadah akan memiliki kekuatan dalam menghadapi
gangguan iblis.
Rangka-rangka masjid tak luput dari makna. Lambang tawonan yang
terdapat dalam Soko Brunjung mengandung makna upaya mencapai keluhuran wibawa.
Lalu ada lambang gonjo pada Dudur, perlambang adanya cita-cita meraih
kesempurnaan hidup. Sirah Godo perlambang kesempurnaan senjata yang ampuh baik
jasmani maupun rohani. Rangka mustoko memiliki makna keluhuran dan kewibawaan.
Sebagaimana masjid arsitektur jawa lainnya, Masjid Soko
Tunggal juga dikelilingi jendela kaca yang lebar sehingga terkesan luas dan
nyaman.
Jika diulas lebih dalam, banyak sekali keistimewaan Masjid
Soko Tunggal ini.
Kendatipun berada di komplek beteng kraton, tempat ibadah ini
bebas dimasuki rakyat di luar kraton. Bangunannya sederhana, tapi sarat nilai
dan menunjukkan betapa indah khasanah budaya Jawa. Tak heran bila pelancong
dari negara tetangga juga tertarik datang untuk melihat-lihat masjid ini.
Sebuah prasasti di dinding luar memperlihatkan, masjid ini
diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ia adalah salah seorang Sultan
yang pernah memimpin Kasultanan Jogjakarta (1940-1988). Sultan Hamengkubuwono
IX yang dikenal dekat dengan masyarakat ini juga merupakan pengusul status
khusus “istimewa” untuk Jogjakarta.
Prasarti bertuliskan “Diresmikan pada hari Rabu Pon tanggal
28 Pebruari 1973 oleh: Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Selesai di bangun pada
hari Jum'at Pon Tgl. 21 Rajab THN. BE sinengkalan "Hanembah Trus Gunaning
Janmo" 1392 H atau 1 September sinengkalan "Nayono Resi Anggotro
Gusti" 1972 M”.