Minggu, 17 November 2013

Allah Ciptakan Keindahan Bromo untuk Negeriku



Sejujurnya, aku tidak pernah memimpikan jalan-jalan ke Bromo. Namun secara kebetulan aku  dan keluarga mendapat “hadiah” dari Allah untuk menikmati keindahan Bromo pada Juli 2013.
Tepatnya sepekan sebelum Ramadan, aku memenuhi janjiku untuk mengantar kakak dan ponakan menemui ibu mertua/nenek yang sudah sepuh di Lumajang, Jawa Timur.
Aku dan suami yang berencana jalan-jalan ke Lombok, memilih membatalkan rencana tersebut demi ke Jawa Timur. Akhirnya kami memilih bersilaturahmi ke Lumajang sembari jalan-jalan.
Pilihan kami jatuh ke Batu, Malang dan Bromo. Berangkat menggunakan KA Gajayana dengan tiket Rp400.000/orang (Gambir-Malang) dan pulang menggunakan Lion Air dari Bandara Juanda-Bandara Soeta Rp550.000/orang (tarif terbilang mahal karena sedang musim liburan).

Coban Rondo, Batu
Sebulan sebelum berangkat ke Jawa Timur, aku sudah memesan tiket kereta api dan pesawat. Disusul kemudian menyewa villa di Batu dengan biaya Rp 1 juta per malam, menyewa mobil untuk tiga hari sekitar Rp1,2 juta (belum termasuk bensin dan tips untuk pengemudi), dan menyewa penginapan di kaki Bromo Rp 600 ribu/malam untuk tiga kamar tidur. Semua nomor kontak saya peroleh dari internet.

Persiapan tersebut membuat perjalanan sangat menyenangkan dan serba beres. Kami berangkat beramai-ramai bersama suami, anakku Lorosae (13) dan Muhammad Palwa (5,5), kakakku Mbak Puji, ponakanku Ghista, adikku Yekti bersama suaminya, Heri, dan anaknya, Kenzi (1,5 tahun).

Berangkat dari Stasiun Gambir sekitar pukul 18.00, tiba di Stasiun Malang Kota sekitar pukul 09.15. Mobil yang kusewa juga sudah siap di stasiun.
Lantaran villa di Batu baru check in jam 14.00, maka tujuan awal kami adalah kuliner dan mengunjungi air terjun Coban Rondo.

Udara sejuk menyapa kami saat memasuki Coban Rondo. Tubuh seketika menjadi segar setelah berjam-jam di perjalanan. Air yang mengalir di sungai masih bersih dan dingin.

Setelah cukup lama menikmati Coban Rondo, kami menuju villa untuk check in. Lantas, kami istirahat untuk kemudian mengunjungi Batu Night Spectacular (BNS). Lokasi wisata ini berisi permainan untuk menguji nyali, mirip Dufan, Ancol. Tentu saja fasilitas permainannya masih lebih lengkap di Dufan.

Sekitar pukul 20.30 WIB, kami meninggalkan BNS dan menuju sebuah warung makan penyedia sate kelinci. Ini atas petunjuk pengemudi mobil yang kami sewa, katanya sate kelinci salah satu kuliner khas Batu.
Usai menikmati sate kelinci yang rasanya memang beda dan lebih keras dibanding sate ayam, kami kembali ke villa untuk istirahat.

Pintu Masuk BNS, Batu
Pagi hari sekitar pukul 07.30, kami pergi ke Lumajang via Malang-Pasuruan-Probolinggo. Jalan raya yang kami lalui cukup lancar. Lantaran itulah tak sedikit kendaraan melaju kencang. Pengemudi pun harus ekstra hati-hati karena banyaknya mobil yang suka menyalip.

Empat jam kemudian kami tiba di Lumajang. Setelah bersilaturahmi dengan mertua kakakku, sekitar pukul 16.00 kami berangkat ke Bromo.

Oleh karena kami sudah memesan penginapan di Bromo Surya Indah, di Wonokitri, maka jalur yang kami lalu adalah Pasuruan.

Untuk menuju Bromo, sebenarnya bisa dilakukan dari Batu (Malang), Probolinggo, maupun Pasuruan. Misalkan kita mau berangkat dari Batu, tinggal memesan jip yang akan membawa kita ke Gunung Bromo.
Bromo melalui Probolinggo merupakan jalur paling popular. Menurut pengemudi jip yang mengantar kami mengelilingi Bromo, perbedaan berangkat dari Probolinggo dan Pasuruan hanya soal waktu.

Jika menginap di Probolinggo, untuk bisa menikmati matahari terbit di pananjakan Bromo kita harus berangkat lebih cepat dibanding dari Pasuruan. Sebab, jarak Probolinggo dengan Pananjakan lebih jauh dibanding Pasuruan ke Bromo.
Sebagai contoh, jika kita menginap di Probolinggo, maka kita harus sudah berangkat ke Pananjakan sekitar pukul 02.30-03.00 WIB. Sedangkan bila kita menginap di Pasuruan, kita bisa berangkat pukul 04.00 WIB.

Bersama Jip sewaan
Soal penginapan, baik di Probolinggo maupun Pasuruan sama mudahnya. Untuk bisa menikmati air gunung yang sangat dingin seperti es, sebaiknya pilih penginapan yang berada di kaki gunung seperti di Wonokitri (bukan hotel di dalam kota). Jangan khawatir, di sana banyak penduduk yang menyewakan kamar untuk tempat menginap.

Bila kita tidak sempat memesan tempat, Anda bisa berkonsultasi kepada petugas pos yang berja
ga sebelum memasuki Wonokitri. Tanpa Anda tanya pun, banyak warga yang menawarkan penginapan.

Soal makan di penginapan, kita juga bisa memesan makanan. Namun sebaiknya kita juga membawa perbekalan, karena dalam cuaca dingin perut mudah sekali lapar.

Kembali ke perjalanan kami, untuk menuju Wonokitri dari Kota Pasuruan, kami harus melalui perjalanan yang menanjak dan berliku-liku. Untungnya kondisi jalan sangat mulus. Di kanan kiri jalan adalah hutan, dan hanya sesekali tampak perumahan penduduk.

Sayangnya kami melalui jalan tersebut dalam kondisi gelap (sudah malam), jadi kami tidak bisa menikmati indahnya pepohonan. Pengemudi pun harus ekstra hati-hati lantaran jalanan yang berkelok-kelok.

Sekitar 1-2 Km menjelang penginapan Bromo Surya Indah, mobil kami dihentikan petugas pos. Jauh hari pengelola Bromo Surya Indah berpesan,”Ibu, kalau ditanya petugas pos, jawab saja: kami tamu Pak Teguh. Nanti ibu langsung disuruh melanjutkan perjalanan”.
Betul juga, ketika kami sampaikan pada petugas pos bahwa kami adalah tamu Pak Teguh, kami dipersilakan jalan kembali. Rupanya, nama Pak Teguh ini populer.
Bromo Surya Indah memiliki tempat parkir yang lapang. Begitu kami tiba, pengelola penginapan yakni Ibu Teguh, langsung menyambut kami. Kami pun memesan makanan untuk makan malam. Anda ingin tahu apa makanannya? Wow....sangat sederhana tapi lezatttt, karena hangat.

Makanan yang dihidangkan nasi panas, tumis kedelai campur tauge pedas, kerupuk, sup panas, tempe tahu, telur ceplok, dan sambal. Untuk kami sembilan orang, harga makanan tersebut hanya sekitar Rp 125.000.

Setelah makan malam, beberapa sopir menawarkan sewa jip. Lumayan mahal, sewa jip Rp 600.000, sebab saat itu musim liburan. Kami pun menyewa 2 jip agar sedikit lega. Satu jip berisi 5 orang dan satu jip 4 orang.

Di Penginpan Bromo Surya Indah
Biarpun sewa jip mahal, tapi sebanding dengan apa yang kita dapatkan. Perlakuan sopir jip sangat baik, memandu kami, dan semua view bisa kami nikmati sesuka hati. Sopir jip berjanji akan menjemput kami pukul 04.00 WIB.

Udara yang sangat dingin membuat kami tidur dalam kondisi baju siap berangkat ke gunung. Kami memakai jaket tebal, sarung tangan, kaos kaki, dan penutup kepala (Barang-barang perlengkapan ini bisa dibeli di lokasi penginapan).

Pukul 04.00 kami dijemput sopir. Semua telah bersiap. Begitu keluar dari penginapan, Masya Allah ratusan jip telah bersiap membawa para wisatawan. Dalam udara yang sangat dingin, kami menuju jip.
Beberapa menit kemudian, jip-jip itu melakukan konvoi menuju Pananjakan 1 untuk menyaksikan indahnya matahari terbit di puncak Bromo. Di sini, udara sangat dingin. Biarpun sudah mengenakan jaket tebal, udara masih menembus tulang-tulang kami.


Warung makan di Pananjakan

Oleh karena itu, kami putuskan menyewa jaket parasut tebal Rp 10.000 per jaket. Untuk menyewa jaket ini mudah saja, karena penyewa menyambut kami begitu turun dari jip. Soal pengembalian, nanti ada petugas lain yang mencari kami. Jadi kita nggak perlu repot-repot mengembalikan.
Oh ya, di Pananjakan ini juga banyak warung makan. Sambil menunggu matahari terbit, kita bisa menghangatkan badan dengan minum kopi, teh panas, maupun makanan penghangat lainnya.


Setelah matahari terbit (1)
Untuk shalat Subuh, di Pananjakan terdapat ruang kecil yang dijadikan musala. Kami berwudhu menggunakan air aqua dan kemudian shalat Subuh. Setelah itu, baru melanjutkan ke tempat paling tinggi untuk menyaksikan matahari terbit.

Kami harus melalui tanjakan yang berundak-undak. Bagi wisatawan yang membawa anak kecil, tak perlu khawatir karena di sini banyak orang menawarkan jasa menggendong anak bertarif Rp5.000-10.000. 

Namun karena suasana gelap, disarankan untuk berpegangan pada sang penggendong bila Anda ingin memanfaatkan jasanya agar tak terpisah dengan si buah hati.


Setelah matahari terbit (2)
Begitu sampai di puncak, suasana cukup berjejal. Akan tetapi kami bisa melihat proses menyembulnya matahari yang lebih mirip dengan kuning telur asin. Lalu perlahan, matahari menampakkan sinarnya menimbulkan gradasi warna pada pepohonan di sekitarnya. Indah sekali, Masya Allah.......

Cantik nian Bromo. Rasanya sulit melukiskan keindahan itu dengan kata-kata. Yang terucap hanyalah,”SubhanAllah, Masya Allah...”

Usai menyaksikan proses terbitnya matahari di pucuk Bromo, jip membawa kami menikmati Pananjakan II, Bukit Teletubies dan Padang Savana, Kawah Bromo, dan Pasir Berbisik.
Mengapa disebut bukit teletubies, karena bukitnya memang mirip dengan bukit di film anak-anak teletubies. Terlihat sangat lembut dan memiliki lubang (lembah) tempat munculnya tokoh teletubies.

Di Bukit Teletubies
Di sini kita bisa naik kuda di tengah-tengah padang savana hanya dengan tarif Rp 50.000. Berfoto dengan latar belakang bukit teletubies. Indah....sekali. Rasanya, ini perjalanan sangat menyenangkan.

Setelah itu, jip membawa kami menuju Pasir Berbisik. Mengapa disebut Pasir Berbisik, karena lokasi ini pernah dijadikan lokasi syuting film 'Pasir Berbisik' yang diperankan Dian Sastro dan Christine Hakim.






Menurutku, Pasir Berbisik adalah lokasi terindah. Di sini terdapat banyak gundukan pasir, lebih mirip gunung pasir kecil-kecil yang mengagumkan. Kesannya, gundukan pasir yang terjadi secara alamiah ini seperti dibentuk. Ya, inilah kebesaran Allah, memberikan pemandangan yang luar biasa untuk dinikmati manusia.


Aksi di Pasir Berbisik (1)
Di tengah padang pasir yang sangat luas dan matahari mulai memancarkan sinarnya, udara tetap terasa sejuk.  Kami nyaman-nyaman saja berada di sana, befoto-foto dengan latar belakang gundukan pasir nan lembut.

Di kejauhan juga tampak Gunung Batok yang berwarna hijau tua. Gunung Batok ini konon terbentuk setelah Gunung Bromo meletus. Bentuknya mungil, namun warna hijaunya tergradasi karena pengaruh sinar matahari. Hal itu membuat warna hijau gunung berbeda-beda, dari hijau tua, hijau muda, hingga kekuningan. Indah sekali.

Di Pasir Berbisik terdapat satu warung kopi. Uniknya, air panas yang digunakan bukan dimasak, melainkan dipendam di dalam pasir hingga mendidih.

Penjualnya adalah seorang wanita asli Suku Tengger. Untuk bisa berjualan kopi, ia harus turun naik bukit di sekitar Pasir Berbisik. Meskipun untuk menjualnya ia perlu menempuh perjalanan terjal, harga jualannya masih murah. Oleh karena jangan khawatir jika akan minum kopi di sini.


Aksi di Pasir Berbisik (2)
Setelah menikmati keindahan Pasir Berbisik, perjalanan dilanjutkan untuk menikmati Kawah Bromo. Setelah menuruni jalan berkelok-kelok dan terjal, jip memasuki padang maha luas. Di sinilah jip terparkir.
Untuk menuju Kawah Bromo kita bisa menaiki kuda dengan tarif Rp 125.000 (pp). Namun jika Anda punya tenaga lebih, bisa saja jalan kaki. Anda bisa menyusuri tanjakan yang sangat tinggi dan berundak-undak. Di sebelah kiri jalan terdapat pura sebagai tempat ibadah umat Hindu.
Untuk bisa menikmati Bromo, kita tak harus menggunakan jip. Jika dana kita terbatas atau ingin menghemat, kita dapat menggunakan sepeda motor baik bawa sendiri maupun menyewa. Meski begitu Anda  harus ekstra hati-hati karena jalanan cukup terjal, berkelok-kelok, dan berpasir.


Gunung Batok
Perjalanan panjang yang tidak melelahkan sama sekali dan sarat kesan. Allah telah menciptakan keindahan Bromo untuk Negeriku.... 








Kontak Penginapan:

Pak Teguh (0812-34664234)