Labaik Allahumma
Labaaik, Labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka
La Syarikalah...
Selama
perjalanan ke tempat-tempat bersejarah, aku membayangkan betapa berat
perjuangan Rasulullah SAW dan para sahabat dalam menegakkan agama Tauhid.
Gunung-gunung tandus dan tanah lapang berpasir tanpa penerangan menyisakan
kenangan itu.
Kondisi
geografis sangat sulit, terjal, dan tanpa ada listrik seperti saat ini. Namun
begitu, Rasulullah beserta para sahabat dan pengikutnya selalu shalat berjamaah.
Alangkah
malunya jika kita tak mengikuti jejak Rasulullah, selalu shalat berjamaah di mesjid. Padahal, kita hidup di zaman penuh fasilitas: Banyak mesjid indah dan
megah, berkarpet tebal, dilengkapi penerang listrik, berkipas angin bahkan AC,
mudah dijangkau baik jalan kaki maupun menggunakan kendaraan, dan masih banyak
lagi fasilitas yang mempermudah kita beribadah.
Menjelang
berakhirnya masa tinggal kami di Makkah, Allah masih memberikan hadiah
terindah. Penyelenggara umrah memberitahukan bahwa usai Thawaf Wada kami akan
berangkat ke Jeddah lalu menuju Istanbul, Turki. Di sana kita akan transit dan
city tour sehari penuh. Itu adalah rizki yang tidak disangka-sangka, karena
kami memakai paket umrah reguler (bukan plus). Secara kebetulan saja kami
menggunakan Turkish Airlines dan mendapat fasilitas ini.
Kami
melakukan Thawaf Wada dengan sangat khusyuk. Sungguh sedih meninggalkan
Masjidil Haram. Terlalu banyak kenangan indah dan sangat berharga bagiku.
Shalat di Masjidil Haram sangat nyaman, khusyuk, dengan shaf begitu rapat. Di
sana aku bisa berkenalan dengan saudara-saudara sesama muslim dari berbagai
belahan dunia, seperti Turki, Pakistan, Thailand, Mesir, dan Malaysia. Setiap
menjelang atau sesudah shalat, biasanya kami menyempatkan diri meneguk air zam
zam.
Maka
begitu harus meninggalkan Masjidil Haram, hatiku sangat sediiiihh....Ya Allah,
izinkan kami kembali ke Baitullah suatu saat nanti.
Perjalanan
ke Jeddah sesungguhnya kurang menggembirakanku karena masih sangat ingin
tinggal di Makkah.
Aku
pribadi juga sempat merasakan shock culture di Jeddah. Bagaimana tidak, dari
beberapa hari tinggal di Madinah dan Makkah yang sangat religius, tertib,
teratur, tiba-tiba harus berada di Jeddah yang nuansa kosmopolitannya sangat
terasa.
Di
Jeddah, kami mengunjungi Laut Merah. Lalu menuju pusat perbelanjaan Balad dan
diarahkan ke Toko Ali Murah. Baru saja mau membeli kaus anak-anak, tiba-tiba
karyawannya mengingatkan kami bahwa adzan Isya berkumandang, sehingga kami menghentikan
aktivitas dan segera ke mesjid. Mesjid itu berada di sebuah pusat perbelanjaan.
Begitu aku masuk ke tempat wudhu, alangkah kagetnya melihat beberapa wanita
sedang mengobrol (tidak bergegas ke mesjid) dan di antaranya terlihat merokok.
Menurut
pembimbing kami, pemandangan itu harus dimaklumi. Sebab, warga yang bermukim di
Jeddah sangat heterogen, banyak suku bahkan non-muslim juga bisa tinggal di
sana. Berbeda dengan Makkah dan Madinah sebagai kota suci.
Di
sekitar pusat perbelajaan Balad, kami diuji kesabaran saat menghadapi para
pedagang asongan. Para pedagang ini, di antaranya pedagang asal Indonesia,
cenderung setengah memaksa dalam menjual. Mereka naik ke dalam bus. Biarpun kami
sudah mengatakan”Maaf, kami tidak mau belanja”, tetap saja si pedagang tak mau
beranjak dari samping kita.
Untunglah,
penyelenggara umrah segera memberangkatkan bus menuju bandara King Abdul Azis.
Setelah menunggu lama, kami berangkat menggunakan Turkish Airlines yang sangat
nyaman. Pesawat ini dilengkapi game layar sentuh yang menawarkan banyak permainan, film, musik berbagai aliran, bahkan alunan ayat suci Al Quran, sehingga anak-anakku nggak rewel atau jenuh.
Pelayanannya
sangat bagus. Air berlimpah, sehingga tidak kesulitan untuk berwudhu atau sikat
gigi. Namun agar tidak mengotori toilet kering pesawat, kami berwudhu
menggunakan waslap basah (sebagaimana dicontohkan ustaz saat pra-manasik).
Soal
makanan juga tidak ada masalah, meski tentu berbeda dengan makanan Indonesia.
Akan tetapi makanan untuk bayi agak kurang pas untuk anakku, seperti kuning
telur yang dikocok dan dikukus sehingga lebih mirip bubur kuning telur. Rasanya
cenderung hambar. Akhirnya anakku makan makanan yang diperuntukkan bagi orang
dewasa.
Sampai
di Bandara Istanbul, cuaca sangat dingin. Setelah melewati Imigrasi, kami telah
dijemput bus pariwisata yang bersih dan mewah. Tujuan pertama kami adalah
menikmati makanan khas Turki di sebuah restoran. Di sana kami lebih banyak
tertawa. Banyak makanan yang tidak kami tahu bagaimana cara menyantapnya.
Sampai-sampai ada seorang jamaah umrah berkelakar,”Saya diemmm aja dari tadi,
lagi mikir. Ini makanan apa? Lha di kampus nggak pernah diajarin.”
Memang
ada menu mirip kue mangkuk tapi terlalu manis, sehingga rombongan umumnya tidak
mau menyantap. Ada makanan “penyelamat” dari rasa lapar yakni telur rebus dan
roti gandum.
Singkat
cerita, kami dibawa pemandu dari Turki ke sebuah pabrik jaket kulit. Harganya
relatif mahal karena berlaku mata uang Euro.
Dari
sana, kami berlanjut menuju Blue Mosque (The Sultan Ahmed Mosque). Ini adalah
mesjid bersejarah di Istanbul yang dibangun pada tahun 1609-1616. Mengapa
disebut Blue Mosque karena ubin dan dinding interiornya berwarna biru. Akan
tetapi saat kita masuk ke sana, bangunan sudah berubah, terasa sangat dingin,
lembab, berair dan gelap. Hanya suara air mengalir terdengar.
Lalu
kami menuju Topkapi Palace Museum. Ini kunjungan yang sangat berkesan dan aku
sangat bersyukur atas anugerah dari Allah. Berbagai peninggalan Rasulullah SAW,
para sahabat, dan putri Beliau Fatima Az-Zahra terdapat di sana.
Dulu,
Topkapi adalah istana kediaman Sultan Utsmaniyah selama lebih dari 600 tahun
(1465-1856). Dalam catatan sejarah, istana ini dibangun atas perintah Sultan
Mahmed II pada 1459. Kompleks istana terdiri dari sejumlah bangunan kecil,
taman bersih dan indah. Dari kompleks istana kami juga bisa memandang selat
Bosphorus nan biru.
Berdasarkan
informasi dari guide, setelah keluarga sultan memilih tinggal di Dolmabache
Palace, tempat ini berubah fungsi menjadi museum.
Yang
paling berkesan di Topkapi Palace Museum saat memasuki Sacred Relics. Di museum yang merupakan bekas ruang pribadi
sultan, terdapat berbagai peninggalan Rasulullah SAW yang masih tersimpan
dengan baik. Terdapat pedang milik Nabi Muhammad SAW yang sangat indah dengan hiasan batu-batuan
berwarna-warni. Ada pula sejumlah pedang milik para sahabat Nabi, seperti milik
Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, bahkan pedang Hussein.
Ada
pula busana Fatima yang masih terlihat utuh. Peninggalan Fatima ini
mencontohkan gaya pakaian seorang muslimah: Sebuah jubah lengan panjang, tebal,
namun terkesan feminin.
Yang
mengharukan lagi ada jejak kaki Nabi Muhammad SAW, beberapa helai jenggot dan rambut
Nabi Muhammad SAW yang tersimpan dalam kotak kaca. Melihat jejak kaki dan
jenggot Nabi, rasanya sangat mengharukan. Bagaimana tidak, selama ini kita
tidak tahu bagaimana rupa junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Begitu melihat peninggalannya
di Topkapi Palace, rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu.
Di
sini juga terdapat mantel Nabi, tongkat Nabi Musa AS, tempat minum Nabi Ibrahim
AS, kunci-kunci Kabah, pembungkus Hajar Aswad. Apa yang kulihat di museum ini benar-benar
melengkapi apa yang telah kudapat dari Madinah dan Makkah.
Alhamdulillah,
Alhamdulillah, Alhamdulillah....Ya Allah, hamba sangat bahagia bisa ke Baitullah
dan melihat langsung peninggalan Rasulullah di Topkapi. Ya Allah, kini hamba selalu
dicekam kerinduan untuk kembali ke Makkah dan Madinah. Berikan kemudahan kepada
kami untuk kembali...Aamiin (Selesai)