Labaik Allahumma Labaaik, labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka La Syarikalah….
Seruan Talbiyah yang selalu terdengar setiap bulan Dzulhijjah selalu membuatku berurai air mata. Ada kerinduan yang begitu dalam untuk bisa merasakan berada di Baitullah. Akan tetapi mungkinkah? Aku hanyalah seorang wartawan yang berkali-kali kehilangan pekerjaan karena perusahaan kolaps, tak kuat menanggung beban produksi yang begitu tinggi….Sementara teman-temanku lebih beruntung di media massa besar dan prospektif….
Namun, SubhanAllah….tanggal 25 Februari 2012 bibirku mengucap Talbiyah secara langsung begitu Allah memberikan rizki besar dan mengizinkanku datang ke Tanah Suci. Sejak berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta dengan menggunakan Turkish Airlines, aku merasa sangat terharu. Sebelum masuk ke pesawat kupeluk erat dan kucium ibuku begitu lama, sembari kuberbisik,”Terima kasih Ibu, atas doamu…atas doamu…aku tak menyangka bisa pergi ke Tanah Suci.”
Bagi orang lain mungkin ini hal biasa. Tapi bagiku luar biasa. Ini hadiah terindah dari Allah atas doa-doaku selama ini. Bahkan, Allah tidak hanya memberikan kemudahan bagiku untuk beribadah, tapi juga memberikan rezeki hingga aku bisa berangkat bersama suamiku dan kedua anakku, Lorosae Kyna Saraswati (11) dan Muhammad Palwa Pranaja Ganesa (4). Sekaligus dengan adikku Yekti Pujirahayu beserta suaminya, Herry, dan kakak perempuanku, Inti Panti Handayani.
Sungguh dengan keikhlasan penuh, aku tak memikirkan pesawat apa yang akan kutumpangi, hotel apa yang akan kupakai untuk bermalam. Pikiranku hanya satu: beribadah di Tanah Suci! Aku ingin suamiku yang seorang mualaf bertambah keyakinan setelah berkunjung ke Baitullah….
Dan Alhamdulillah, keikhlasan itu berbuah kenikmatan luar biasa. Pesawat yang kami tumpangi, Turkish Airlines, sangat nyaman dan pelayanannya sangat baik. Setelah transit di Singapura selama setengah jam, pesawat transit di Bandara Istanbul yang begitu dingin (8 derajat celcius) selama 3 jam, dan kemudian berlanjut ke Jeddah.
Dan Alhamdulillah, keikhlasan itu berbuah kenikmatan luar biasa. Pesawat yang kami tumpangi, Turkish Airlines, sangat nyaman dan pelayanannya sangat baik. Setelah transit di Singapura selama setengah jam, pesawat transit di Bandara Istanbul yang begitu dingin (8 derajat celcius) selama 3 jam, dan kemudian berlanjut ke Jeddah.
Meski udara sangat dingin dan lama di perjalanan, anak-anakku yang masih kecil sangat ceria. Terlebih begitu mulai memasuki Kota Madinah. Lagi-lagi, aku menitikkan air mata…sementara anakku begitu takjub melihat megahnya Mesjid Nabawi. SubhanAllah….
Kami diinapkan pihak penyelenggara umroh di Hotel Wassel, entah terkenal atau tidak, tapi bagiku nikmat luar biasa. Lokasinya sangat dekat dengan Mesjid Nabawi. Mudah bagiku untuk menggendong si bungsu, Palwa (berbobot 20 kg), ke mesjid untuk bisa shalat bersama-sama. Ya, setiap menjelang waktu Subuh, anakku yang masih tidur kupakaikan baju hangat plus kaus kaki, lalu kugendong ke Mesjid Nabawi. Kubawakan botol susu juga, sehingga kupastikan dia takkan rewel. Karena datang lebih awal, Alhamdulillah kami selalu bisa shalat di dalam mesjid dan dalam shaf depan (untuk wanita).
Untuk masuk ke Mesjid Nabawi harus melalui pemeriksaan ketat, dan aku sudah siap mental. Karena sebelum berangkat, kakak laki-lakiku mengundang ustaz untuk memberikan pengetahuan sebelum manasik. Maka, kamera dan handphone selalu kutitipkan pada suami. Perempuan dilarang membawa barang-barang tersebut, sedangkan laki-laki boleh. (Entah mengapa, tapi mungkin untuk meminimalisasi kegaduhan karena perempuan suka foto-foto).
Untuk mengabadikan keindahan Nabawi, kami mengambil gambar dari depan mesjid tersebut yang semakin indah dengan payung-payung keemasan. Usai beribadah, kami janjian berkumpul di suatu lokasi, untuk kemudian pulang ke hotel bersama-sama. Lalu sarapan pagi bersama…..indahnya ya Allah….itu sangat langka bagiku. Selama ini kami sibuk dengan kegiatan masing-masing, sehingga jarang makan bersama-sama di rumah. Apalagi suamiku juga tak biasa sarapan pagi…
Di Medinah semua berubah, hidup kami lebih teratur. Usai sarapan, kami sudah bersiap-siap ke Mesjid Nabawi lagi untuk shalat Dhuha…begitu seterusnya. Waktu kami isi dengan ibadah dan ibadah. Ya, sesekali mampir ke toko-toko untuk membeli oleh-oleh.
Aku merasakan kebesaran Allah dan merasa tenang berada di sisi Rasulullah Nabi Muhammad SAW secara fisik, ketika memasuki Raudhah. Tidak mudah untuk memasuki Raudhah, bersujud di mesjid berkarpet warna hijau ini. Sebab begitu banyak umat dari seluruh penjuru dunia ingin shalat di Raudhah.
Beruntung saat ke Raudhah untuk pertama kalinya, kami ditemani pembimbing yang kami panggil ‘Umi’. Beliau perempuan bercadar yang sangat sabar, memberikan kami petunjuk dan pengetahuan tentang Raudhah. Kami diarahkan untuk terus bershalawat, memasuki Raudhah dengan kaki kanan sembari berucap,”Ya Allah ampunilah kami dan berikan keberkahan”.
Untuk masuk ke Raudhah, benar-benar perlu fisik kuat. Sangat penuh sesak. Alhamdulillah, anakku Lorosae, meski tubuhnya kurus dan kecil tapi mampu bertahan walau berdesak-desakkan. Kami juga bisa shalat dan berdoa di sana, meski untuk bisa sujud Umi ekstra keras menjaga kami agar tidak sampai dilangkahi jamaah lain.
Tak terasa, air mataku mengalir saat mengucapkan, ‘Assalamu’alaika Ya Rasulullah’, ‘Assalamua’laika ya Abu Bakar’, ‘Assalamu’alaika ya Abbit Umar’. Ya Allah, ya Rasulullah, aku datanggg….Aku ingin Ridho-Mu ya Allah, inginkan doamu ya Rasul….
Sungguh damai, melihat langsung makam Rasulullah…Beliau junjunganku, terasa ada di sampingku…sungguh tak terlukiskan perasaan hati ini….
Shalat dan doaku mengalir dengan sepenuh hati. Apalagi teringat kata-kata Umi tentang sabda Rasulullah SAW,”Satu kali shalat di mesjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di mesjid lain.”
Pengalaman batin ini membuat kami ingin kembali ke Raudhah. Maka keesokan harinya usai shalat Isya, kami antri kembali untuk masuk Raudhah dan beribadah di sana. Untuk bisa shalat di Raudhah memang perlu kesabaran karena harus antre dengan jemaah lain. Lagi-lagi, semua karena Allah kami bisa beribadah meski dalam kondisi berdesak-desakan. Semua doa kami panjatkan dilakukan dengan bersujud. Karena jika menengadahkan tangan, penjaga akan segera meminta jamaah untuk keluar dari Raudhah. Itu adalah cara yang Umi ajarkan untuk kami.
Alhamdulillah, ibadah di Raudhah untuk kedua kalinya bisa kami lalui meski baru bisa shalat sekitar pukul 24.00 WIB.
Ya Allah, tentramnya hatiku bisa shalat di mesjid ini.….(bersambung)